Cerpen "NASIHAT" A.A Navis
Nasihat-nasihat
A.A.
Navis
Ketika Hasibaun, anak
muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh
perhatian ia mendengarkan. Memang selama wajahnya kalihatan sungguh-sungguh,
bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang
berharga. Sikapnya ini menyenangkan hati orang. Sedang rambut dan kumisnya yang
lebat dab telah putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati
yang dilanda kerisauan, bahwa dari padanya saja nasihat yang baik memancar.
Nasihat orang tua itu
selamanya berharga. Karena itu, setiap orang tak berani memulai sesuatu sebelum
diminta nasihatnya. Dan jikalau orang lupa meminta nasihat kepadanya, mereka
itu merasa berdosa sekali. Namun demikian, biar orang lupa dan tak butuh
nasihatnya pun, ia mampu memperlihatkan kebesaran jiwanya. Cepat-cepat ia
memberikan nasihatnya. Dengan penuh kesungguhan dan dengan segala pertimbangan
yang sangat masuk akal.
Pada setiap perkumpulan
namanya pastilah tercantum sebagai penasihat. Kalau tidak diminta, ia sendiri
akan menawarkan dirinya. Dan tak satu pun dari perkumpulan itu yang menolak.
Meski di antara perkumpulan itu saling berlawanan asas.
Dan ketika Hasibuan, anak
muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya demikian hilang
akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Sealanya dipandangnya berat, walau
kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek bengek saja.
"Itulah semua,"
ujar Hasibuan dengan nada putus asa. "Berilah aku nasihat. Apa yang harus
kulalkukan lagi?"
Sebagaimana mestinya,
orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang keramat. Lebih dulu ia
lepaskan punggungnya ke sandaran sofa dengan selelahnya. Diisapnya lagi
cangklongnya beberapa kali. Dan asapnya yang mengepul dari bawah hidung,
dipandangnya beberapa jurus. Seolah pada asap itu terlukis segala ilham
nasihatnya.
"Ini memang
sulit," katanya dengan pasti. "Apabila kau betul-betul menurutkan
nasihatku, tidaklah akan sulit benar. Mudah benar mengatasinya."
Anak muda itu tidak
bergerak dari sikapnya semula, meski ia gelisah benar oleh lambatnya orang tua
itu bicara.
"Mari kita mulai
dari awal," kata orang tua itu selanjutnya. "Sebenarnya apa yang kau
kemukakan itu, menurut timbanganku, tak mungkin bisa jadi. Coba. Seorang gadis,
ya seorang gadis. Apalagi gadis desa pula. Ia pasti sangat pemalu. Sopan. Dan
halus budinya."
Hasibuan merasa, bahwa
ucapan orang tua itu seperti menuduhnya telah berbicara yang bukan-bukan. Dan
ia mau meyakinkan orang tua itu. Tapi sebelum ia selesai menyusun kalimat yang
hendak di ucapkannya, orang itu berkata lagi. Katanya, "Aku sudah tua.
Sudah banyak pengalaman. Aku sudah mengerti benar segala sifat dan fiil
manusia. Bahkan dari setiap muka seseorang aku dapat membaca segalanya. Tentang
itu aku takkan silap. Percayalah."
Hasibuan jadi lega
hatinya.
"Coba kaubayangkan
kembali. Seorang gadis desa yang seharusnya pemalu, tahu adat, sopan, duduk
disamping seorang laki-laki tidak di kenal di atas bis. Omong-omong sedikit dan
sudah pasti tentang hal-hal yang tidak berarti. Lalu ketika hendak berpisah,
laki-laki itu bertanya, ‘Mau ke mana?’ Dan gadis itu menjawab dengan tegas, ‘Ke
mana Abang, ke sana aku.’ Masya Allah. Tentulah gadis itu gila. Ya, tentulah
dia gila," kata orang tua itu seraya memandang kepada Hasibuan yang duduk
di hadapannya. "Apa kau tak sadar gadis itu gila?"
"Tidak sama
sekali."
"Tentu saja kau
tidak sadar. Karena kau masih terlalu muda. Belum banyak pengalaman. Percayalah
kepadaku, orang tua yang sudah banyak pengalaman ini. Gadis itu pasti gila.
Nah, nasihatku dalam hal ini, begini: Jauhi dia. Elakkan dia bila bertemu di
jalan. Kalau bertemu juga, jangan disahuti tegurannya. Mudah-mudahan, jika kau
ikuti nasihatku ini, Insya Allah kau pasti selamat. Dunia akhirat."
Hasibuan bertanya pada
dirinya sendiri. Dapatkah ia mengikuti nasihat orang tua itu? Kemarin gadis
itu, yang sampai saat itu tak pula diketahui namanya, duduk disampingnya di
atas bis. Setelah omong-omong yang tidak berarti, tiba-tiba gadis itu
menyandarkan kepalanya ke bahunya. Bilang, kepalanya sakit benar. Dan hati
mudanya menyuruh memeluk gadis itu. Dan dipeluknya gadis itu. Kemudian, gadis
yan tak hendak berpisah lagi dengan dia itu, ditumpangkannya ke rumah seorang kenalannya
di tepi kota. Dan pada gadis itu ia sudah berjanji hendak menemuinya besok
pagi.
Ketika pagi datang,
sebelum ia menemuinya, lebih dulu ia bicara kepada orang tua itu untuk meminta
nasihatnya. Nasihat orang tua itu diikutinya. Tak jadi ia menemui gadis itu.
"Bagaimana?"
tanya orang tua itu ketika mereka sedang makan siang.
"Tak aku temui
dia."
"Bagus. Bagus,"
kata orang tua itu gembira. "Nasihatku, nasihat orang tua. Nasihat orang
tua itu pasti benar, karena orang tua itu telah lama hidup dan banyak
pengalaman."
"Tapi, Pak, jam
sembilan tadi, dia yang datang menemuiku di kantor."
"Tentu saja kau lari
terbirit-birit. Ha ha ha. Tampak-tampak saja olehku, bagaimana kau melarikan
diri. Ke dalam kakus tentu, ya? Ha ha ha. Dan, ya betapa lucunya itu. Gadis itu
tentu dengan sia-sia saja menunggumu, bukan? Dapat saja kubayangkan, bagaimana
kecewanya meninggalkan kantormu."
"Tidak. Tidak
seperti itu."
"Hah? Jadi kau
bertemu juga?"
"Ya. Ketika pesuruh
kantor memberi tahu, ada tamu untukku, aku tak kira dia yang datang. Ketika ia
melihatku ia menangis tersedu-sedu. Hingga semua orang di kantor jadi tahu
persoalanku. Aku malu sekali. Dan gadis itu, meski bagaimana aku katakan, tak
hendak pergi. Lalu kemudian….."
"Lalu
kemudian?" sela orang tua itu dengan rasa ingin tahunya.
"Aku antarkan dia
kembali ke rumah kenalanku itu."
Orang tua itu begitu
kecewanya. Dipandangnya Hasibuan tenang-tenang, seperti hendak menaksir isi
kepalanya. Diletakkan sendok garpunya. "Kalau kemarin, dia kaubawa ke
rumah kenalanmu itu, itu pantas. Karena hari sudah malam. Tapi sekarang, hari
sudah siang. Dia sudah bisa pulang ke rumah orang tuanya di desa. Ada kau suruh
dia pulang ke rumah orang tuanya?"
"Malah kuberi dia
ongkos?"
"Tapi dia tidak
mau?"
"Ya. Dia tak mau.
Uangku tak diterimanya. Dia menangis terus. Aku kehilangan akal. Tak tahu aku
apa yang harus kuperbuat lagi. Lalu, supaya jangan bikin rewel di kantor, aku
bawa kembali ke rumah kenalanku itu. Waktu itu, Pak, aku mendoa-doakan agar aku
bisa ketemu Bapak. Biar aku dapat nasihat Bapak."
Mendengar kalimat
terakhir itu, hilanglah sinar mata kecewa orang tua itu. Diambilnya lagi
sendoknya. Dan dia makan lagi. Ia mngunyah lambat sekali, sambil
merenung-renung juga. Lama kemudian ia berkata lagi, "Hm. Seorang gadis. Gadis
desa pula. Yang mestinya pemalu, tahu adat, berkesopanan tinggi, tidaklah akan
mau berbuat demikian. Tentunya dia itu gila. Atau sekurang-kurangnya berbuat
gila-gilaan. Tentu ada sebabnya. Sangkamu apa sebabnya?"
"Tak dapat aku
menyangka apa-apa. dia hanya terus menangis bila di dekatku. Dia tak bicara
apa-apa kepadaku."
"Barangkali kepada
kenalanmu itu dia ada bercerita?"
"Kepada kenalanku
itu, tidak. Kepada istrinya, ada. Katanya, dia tak hendak pulang ke rumah orang
tuanya. Ibunya sudah lama mati. Ketika ia masih kecil benar. Lalu ayahnya kawin
lagi. Tiga tahun yang lalu ayahnya meninggal pula. Dua hari yang lalu, ibu
tirinya marah-marah kepadanya. Dan mengusirnya pergi. Ia pergi ke Padang. Tiba
di Padang, dia tak tahu mau ke mana. Lalu kembali lagi dia ke sini."
"Omong kosong. Itu
cerita licik. Cerita yang hanya di karangnya saja, untukmenarik kasihan hati
orang. Coba kaukira, ini negeri Minangkabau tidak akan mungkin itu terjadi.
Minangkabau berpagar adat. Taruhlah dia benar diusir ibu tirinya, tapi dia
masih punya ninik mamak. Dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan
keponakannya hidup tersia-sia. Apalagi keponakannya itu, seorang gadis. Tahulah
kalau dia pergi tanpa setahu ninik mamak-nya. Biasanya, di negeri Minangkabau
yang beradat, jika hilang bercari, jika tenggelam di selami. Takkan dibiarkan
anak gadis yang sebesar itu pergi begitu saja. Di sini Minangkabau, Hasibuan.
Minangkabau, Hasibuan. Minangkabau yang adatnya tinggi. Tak lekang oleh panas,
tak lapuk oleh hujan. Tidak terpikirkan olehmu sampai sekian jauh?"
"Tidak," kata
anak muda itu dengan suara yang kedengarannya melukiskan bimbang hatinya.
"Tentu saja kau tak
sampai berpikir sejauh itu," kata orang tua itu pula, "Kau masih
muda. Sedang aku sudah tua. Sudah lama hidup dan banyak pengalaman. Aku sudah
tahu betul akan kongkalikong hidup manusia ini."
Di pandangnya Hasibuan
tenang-tenang, dengan perasaan hati yang puas akan keunggulan dirinya. Tapi
kemudian ia meneruskan menambah keunggulannya. Katanya, "Ada hal-hal yang
menyebabkan ia tak mau kembali ke kampungnya, menurut sangkamu? Apa tidak
terpikirkan olehmu, sebabnya dia tak mau kembali itu, karena memangnya dia
telah diusir orang kampungnya?"
"Apa kira-kira
kemungkinannya lagi, Pak?"
"Kemungkinannya
banyak. Di antaranya minta penyelidikan, yang mana yang lebih benar dari segala
macam kemungkinan itu. Tapi bertengkar dengan ibu tiri, terang itu bukan suatu
alasan untuk lari. Menurut hematku, gadis itu mungkin tidak gadis lagi.
Kegadisannya telah diambil atau diberikannya kepada seorang laki-laki. Kemudian
ketahuan. Tapi laki-laki itu tak hendak mengakuinya. Karena malu, dia lari ke
Padang. Kemudian dia bertemu dengan engkau. dan punya pekerjaan kantor.
Mengerti kau maksudku? Tidak? Siapa tahu, barangkali dia sedang memasang
perangkap untukmu."
"Tidak mungkin
sampai demikianbenar," katra Hasibuan mengemukakan pendapatnya. Tapi cepat
kemudian ia seperti terkejut oleh ucapannya sendiri. Dan kepalanya tertekur
menyembunyikan muka merahnya.
"Nah, ucapanmu itu,
sudah menunjukkan betapa mudamu. Mukamu, gerakmu, dapat aku baca, seperti aku
membaca koran saja. Itu saja takkan silap," kata orang tua itu seraya
menusuk sepotong daging dengan garpunya. "Coba bayangkan," katanya
seterusnya, setelah daging itu diletakkan di piringnya. "Seorang gadis
desa yang seharusnya pemalu, gadis Minang lagi, dengan begitu saja menyerahkan
dirinya kepada laki-laki yang baru dua jam dikenalnya." Ditatapnya lagi
wajah anak muda itu, hendak tahu apakah kata-katanya telah cukup nyata
terbayang olehnya. Setelah ia merasa bahwa kata-katanya cukup terbayang, di
sambung lagi perkataannya, "Buaya itu, Hasibuan, bukan jantan saja
jenisnya. Mengerti kau. Siapa tahu, barangkali dia sedang mengakalimu. Sedang
memikatmu supaya kaukawini dia. Karena mungkin jadi sudah hamil.
Sekurang-kurangnya, dia hendak mengorek isi kantungmu sampai tandas. Itu paling
kurang. Nasihatku dalam hal ini, begini. Meski dia menangis sampai mengeluarkan
air mata darah, jangan kaupeduli. Serahkan dia pada polisi. Titik."
"Menyerahkan dia pada
polisi?" tanya anak muda itu tercengang.
"Bukan untuk
memenjarakannnya. Tapi untuk menyerahkan kembali ke keluarganya. Karena kau
tidak kenal orang tuanya, bukan? Dan dia tidak hendak kembali ke orang tuanya
itu. Sebab aku melihat sesuatu yang lebih buruk lagi bakal menimpa kau. Jadi
sebelum hal itu terjadi, secepatnya kauberitahukan kepada polisi. Tambah cepat,
tambah baik."
Mendengar nasihat itu,
nasi yang terakhir tak dapat dilulurnya lagi. Meski nasi itu sedikit dan telah
begitu lumatnya. Diminumnya air cepat-cepat, hingga ia tersedak.
Orang tua itu menyangka,
setelah tiga hari berlalu, persoalan Hasibuan beres sudah. Menurut sangkanya,
gadis itu telah kembali ke keluarganya. Atau sudah masuk rumah sakit gila.
Karena selama tiga hari itu, tiada tanda-tanda adanya kesulitan pada air muka
Hasibuan. Dan ia sebagai orang tua, tak hendak menyinyiri urusan orang lain.
Anak muda itu sendiri, tampaknya tak lagi hendak bicara tentang soal itu. Ia
yakin benar, nasihatnya telah diikuti dengan betul, hingga soalnya sudah lewat
seperti angin lalu.
Tapi pada hari keempat,
Hasibuan pulang dari kantornya membawa kegugupan. Sangkanya, tentu anak muda
itu mendapat kesukaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan kantor saja. Ia
menunggu anak muda itu meminta nasihatnya yang berharga lagi. Tapi alangkah
jengkelnya dia, ketika Hasibuan menceritakan kesukarannya itu masih berkisar
pada soal gadis itu juga.
"Jadi kau dituduh
keluarganya telah menyembunyikan gadis itu? Dan kau dipaksa untuk mengawininya?
Ini tentang suatu pemerasan. Ha," kata orang tua itu. Kemudian
disandarkannya lagi punggungnya ke kursi dan diisap lagi
cangklongnya."Keluarganya yang datang ke kantormu tadi itu, tentu tidak
seorang, bukan? Tentu tiga orang sekurang-kurangnya."
"Lima orang,"
kata anak muda itu cepat.
"Semuanya tentu
laki-laki. Lai-laki itu tentu seperti kingkong besarnya, bukan?"
"Demikianlah."
"Nah ini terang
suatu pemerasan. Tidak boleh tidak," katanya lagi. Kemudian punggungnya
yang tersandar ditariknya lagi. Dicabutnya cangklong dari mulutnya, lalu
ditodongkan kepada Hasibuan, seraya berkata, "Kau seorang laki-laki.
Seorang laki-laki tak dapat dipaksa oleh siapapun untuk mengawini seorang
perempuan, kalau ia tak mau. Apalagi kalau laki-laki itu tidak pernah
mengganggu perempuan itu. Kau tidak pernah mengganggu gadis itu,bukan?"
"Tidak pernah,"
jawab anak muda itu.
"Nah, kau dipihak
yang benar. Meski perkaramu ini akan sampai ke pengadilan sekalipun, tak
satupun pengadilan yang mampu menghukum. Malah kau pun dapat menuduh mereka itu
ke pengadilan. Jangan kau takut. Kau dapat mengadukan mereka itu ke polisi
dengan tuntutan pemerasan dan ancaman. Nanti, bila perlu kutolong kau. Aku
kenal kepala polisi di sini. Kenal baik. Jaksa, anak temanku sedari kecil. Nah,
nasihatku dalam hal ini, jangan kautunjukkan dirimu mempan oleh gertakan kepada
buaya-buaya itu. Jika perlu kau pun dapat mengeluarkan ancaman kepada mereka.
Jangan persukar soal itu dalam pikiranmu. Persenang sajalah hati."
Tapi hati anak muda itu
tak dapat disenangkannya. Ia begitu gelisah. Ada hal-hal yang hendak
dikatakannya lagi. Karena ia tak pernah menyerahkan gadis itu kepada polisi.
Malah, baru saja ia menyuruh gadis itu pulang ke keluarganya di desa, gadis itu
telah meraung-raung seraya memagut kakinya erat-erat. Meminta belas kasihannya
agar membiarkan dia tetap di situ, di sampingnya. Dan hatinya jadi lintuh. Dan
bersamaan dengan itu hatinya pun jatuh pula kepada gadis itu. Itu hendak
dikatakannya kepada orang tua itu, tapi ia tak berani mengatakannya.
Kegelisahannya itu
dilihatnya. Lalu ia berkata lagi meluncurkan nasihatnya: "Ah, tak usah
gelisah, ikutilah nasihatku. Nasihat orang tua. Dan orang tua, seperti aku ini,
telah lama hidup dan telah banyak pengalaman. Tak usah gelisah. Nanti aku tulis
surat kepada kepala polisi, temanku itu. Aku minta ia menjaga keselamatanmu
dari pemerasan dan ancaman itu. Senang sajalah."
Namun hati anak muda itu
belum juga tentram. Itu dilihat oleh orang tua itu, maka tersenyumlah ia.
Seperti senyuman seorang insinyur melihat perdebatan kuli-kuli tentang suatu
bangunan. Tapi sebagai orang tua yang telah banyak makan asam garam kehidupan,
ia tidak hendak melecehkan kesukaran orang lain. Meski kesukaran itu hanyalah
tetek bengek belaka. Dan senyumnya lekas-lekas dikulumnya. Dan sebagai orang
tua, yang lebih tahu segala hal, ia dapat memahami betapa kesukaran itu
mengamuki hati seseorang. Karena itu ia pun tahu bagaimana menasihatinya,
hingga nasihatnya menjadi benar-benar berharga dan dapat diikuti dengan mudah.
Menurut sangkanya, anak muda itu sedang dalam keadaan terjepit. Ia tahu,
Hasibuan sedang dalam percintaan dengan seorang gadis. Itu dapat dilihatnya
kemarin malam. Hasibuan berjalan demikian mesranya di samping gadis itu.
Taksirannya, kalau gadis itu tahu betapa halnya Hasibuan dengan gadis desa yang
ditemuinya di atas bis dulu itu, tentu si gadisnya ini akan menyayangkan
hal-hal yang bukan-bukan.
"Haa," katanya
tiba-tiba. "Aku tahu kesukaranmu yang selalu menggelisahkanmu itu. Jangan
kausangsikan. Ikutilah nasihatku. Aku dapat mengerti segala hati. Karena aku
sudah tua, telah lama hidup dan sudah banyak pengalaman. Pada air mukamu yang
muda itu, dapat aku baca semua. Mengaku sajalah kepadaku. Jangan bersembunyi
lagi, kepada orang tua ini. Takkan baik akibatnya. Mengaku sajalah. Kau sedang
bercinta dengan seorang gadis, bukan? Ah, jangan membantah. Kau bawalah gadis
itu ke sini. Dan jangan lupa, gadis yang sedang mencuri hatimu itu. Bawa dia
kesini. Nanti aku dapat menyelesaikan kesukaranmu dengan mudah. Ikutilah
nasihatku. Nasihat orang tua yang telah banyak pengalaman ini. Bawa dia besok,
ya."
Gembira benar hati orang
tua itu, ketika Hasibuan membawa gadis itu ke rumahnya untuk diperkenalkan
kepadanya. Banyaklah bicara dan ketawanya. Banyaklah nasihat-nasihat tentang
kehidupan rumah tangga. Di saat yang seperti itu, orang tua itu memanglah
merupakan orang tua yang paling menyenangkan.
Dan ketika ia sedang
berdua saja di ruang tamu, orang tua itu mengalih duduk di dekat Hasibuan.
Seperti ada suatu rahasia saja, ia bicara dengan berbisik. "Pilihanmu
tepat kali ini. Cantiknya, melebihi gadismu yang khianat dulu. Lihatlah.
Tentang ini aku tidak silap. Perhatikanlah. Ketika dia datang tadi, ia salami
aku. Itu biasa. Tapi dia terus menanyakan Ibumu dan menemuinya ke belakang. Ini
luar biasa. Tertibnya bagus sekali. Kemudian dia sendiri yang menating teh buat
kita, seperti rumah ini rumah orang tuanya saja. Ini sungguh menakjubkan. Anak
baik dia ini. Dalam seribu, jarang satu seperti dia. Meskipun begitu, mataku
yang tua ini, mata yang telah banyak melihat ini, masih dapat menangkap suatu
kekurangannya. Dalam hal ini aku tak silap. Kekurangannya itu masih dapat
diperbaiki. Asal dia mau mengikuti nasihat-nasihatku kelak."
Setelah ia menghidupkan
api cangklongnya, orang tua itu meneruskan bicaranya. "Dengarlah nasihatku
lagi. Nasihat orang tua yang banyak pengalaman ini. Nasihatku, kawini dia
lekas. Jangan tunggu lama. Jangan biarkan angin jahat masuk, seperti yang
pernah kaualami dulu."
"Memang rencanaku
demikian, Pak," kata anak muda itu.
"Bagus. Bagus. Tapi
nasihatku dalam hal ini, jangan kau yang meminang dia ke orang tuanya. Birkan
orang tuanya yang meminang kau, seperti adat Minangkabau," kata orang tua
itu.
"Keluarganya sudah
datang kepadaku."
Tiba-tiba orang tua itu
seperti kena listrik. Ia merasa seolah-olah telah dilampaui begitu saja. Tapi
pikirnya kemudian, barangkali Hasibuan belum memberi putusan kepada keluarga
gadis itu. Tak percaya ia, bahwa Hasibuan akan memutuskan begitu saja tanpa
minta nasihatnya.
"Tapi aku
percaya," katanya kemudian setelah ia dapat menguasai dirinya lagi.
"Kau tentu cukup bijaksana, bukan?"
"Ya. Sebagaimana
nasihat Bapak, perkawinan akan dilaksanakan dalam minggu ini juga."
Hasibuan berkata tanpa memperhatikan gelagat orang tua yang sekali lagi
disengat listrik. Tak tahu ia muka orang sudah jadi pucat dan badannya gemetar.
Lalu katanya lagi, "Gadis itulah yang kutemui dalam bis baru-baru ini,
Pak."
Sekarang listrik yang
menyengat naik beberapa kilowatt lagi. Mukanya yang pucat jadi biru. Ditatapnya
Hasibuan dengan mata tajamnya lalu cepat ia berdiri dari duduknya. Dan bibirnya
bergerak-gerak seperti hendak memaki.
Tapi Hasibuan yang tidak
melihat perubahan itu, bertanya lagi dengan wajah yang malu tersipu: "Apa
nasihat bapak dalam hal ini?"
Sekali ini nasihat itu
tak keluar dari melalui mulutnya yang peramah, seperti biasanya. Hanya pintu
kamar tidurnya yang berdentang kencang dibantingnya dari dalam.
Komentar
Posting Komentar