Makalah Analisis Cerpen Robohnya Surau Kami
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya
sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat
memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan
pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang
universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup
dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan,
percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan
sebagainya. Jadi tidaklah mengherankan jika seseorang pembaca cerpen, maka
sepertinya orang yang membacanya itu sedang melihat miniatur kehidupan manusia
dan merasa sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, si
pembacanya itu ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering
pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang
dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya itu akan tertawa, sedih, bahagia,
kecewa, marah , dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya.
Jika kenyataannya seperti itu, maka jelaslah bahwa
sastra (cerpen) telah berperan sebagai pemekat, sebagai karikatur dari
kenyataan, dan sebagai pengalaman kehidupan, seperti yang diungkapakan Saini
K.M. (1989:49). Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan ajar di kelas
tentunya akan membuat pembelajarannya lebih hidup dan menarik.
Tidak hanya itu, kiranya cerpen dengan segala
permasalahannya yang universal itu ternyata menarik juga untuk dikaji. Bahkan
tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu
dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Seperti halnya kami mencoba
mengkaji cerpen yang dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran di kelas. Cerpen
yang kami kaji itu adalah sebuah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami
karya A.A. Navis.
Dipilihnya cerpen karya A.A. Navis tersebut bukan
tanpa pertimbangan atau alasan sebab cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi
kami) dibandingkan dengan cerpen A.A.Navis yang lain atau cerpen yang ditulis
pengarang-pengarang yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik
penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena
Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana
terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. Menurut hemat
saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen Langit Makin Mendung karya
Kipanjikusmin dan cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis.
Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap berbeda.
Cerpennya Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang luar
biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan
cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa kejutan karena ceritanya menyindir
pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen
Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali
(meminjam istilah Bahrum Rangkuti dalam Polemik H.B.Jassin, 1972:177).
Sedangkan dalam cerpen Robohnya Surau Kami tidak seperti itu. Itulah
sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. Selain itu
cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras
sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah kita (Sapardi Djoko Damono
dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).
Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti
yang tercantum dalam kurikulum 1994 yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami,
dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Lalu, di dalam rambu-rambunya pada butir 10 ditegaskan pula bahwa pembelajaran
sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk mengapresiasikan
karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalaran, dan daya khayal, serta kepekaan
terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian peran
pelajaran sastra menjadi sangat penting.
Mengingat perannya yang sedemikian itu, maka
terselenggaranya pembe-lajaran sastra yang menarik dan menyenangkan akan
menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi. Hal ini dimungkinkan karena
pelajaran seperti ini akan dapat mendidik siswa untuk dapat mengenal dan
menghargai nilai-nilai yang dijunjung oleh bangsanya, juga untuk dapat menghargai
hidup, menikmati pengalaman orang lain, serta dapat menemukan makna hidup dan
kehidupan. Bukankah karya sastra (cerpen) itu merupakan miniatur kehidupan
manusia di sekitar pembaca?.
Jadi, dengan mempelajari cerpen (sastra) berarti
siswa diajak untuk mempelajari manusia dan lingkungannya. Biasanya siswa akan
sangat antusias jika diajak untuk membicarakan atau mendiskusikannya juga akan
mengeluarkan segala pengalaman dan pengetahuannya.
Sayangnya, kendala pembelajaran itu sering terletak
pada guru. Sebab, masih saja guru yang terlalu mengandalkan LKS (Latihan Kerja
Siswa), tidak menyukai sastra, dan tidak bisa memilih bahan ajar yang tepat dan
menarik untuk seusia siswa yang dididiknya. Kenyataan inilah yang sering
dianggap orang sebagai kegagalan. Gagal karena siswa tidak memiliki daya
apresiasi dan kepekaan rasa serta tidak menyukai sastra.
Berangkat dari permasalahan yang sudah diuraikan di
atas, saya mencoba mengkaji keterkaitan cerpen dalam kegiatan pembelajaran dan
berusaha menemukan kemungkinan-kemungkinannya cerpen dijadikan bahan ajar di
kelas. Dengan harapan, hasil pengkajian ini dapat memberikan solusi dalam upaya
memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran apresiasi sastra (cerpen).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan
atas Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik adalah unsur dalam yang membentuk
penciptaan karya sastra. Unsur ini berupa tema, amanat, latar, alur, penokohan,
titik pengisahan, dan gaya. Ketujuh unsur yang terdapat dalam cerpen Robohnya
Surau Kami itu sebagai berikut:
1.
Tema
Pengarang yang sedang menulis cerita pasti akan
menuangkan gagasannya. Tanpa gagasan pasti dia tidak bisa menulis cerita.
Gagasan yang mendasari cerita yang dibuatnya itulah yang disebut tema dan
gagasan seperti ini selalu berupa pokok bahasan.
Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami
sesungguhnya terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan
Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut ini.
“Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya
anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku
sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin,
ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tak pernah aku menyusahkan orang
lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia
terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan
itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun
pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya,
supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia.
Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya.
“Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah
salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.”
Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :
“Tidak,
kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu
sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar
kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal
engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan
mereka sedikitpun.”
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas
fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah seorang kepala keluarga lalai
itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh dirinya. Dan
simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah
kalau cerpen karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.
2.
Amanat
Di dalam sebuah cerita, gagasan atau pokok persoalan
dituangkan sedemikian rupa oleh pengarangnya sehingga gagasan itu mendasari
seluuh cerita. Gagasan yang mendasari seluruh cerita ini dipertegas oleh
pengarangnya melalui solusi bagi pokok persoalan itu. Dengan kata lain solusi
yang dimunculkan pengaranngnya itu dimaksudkan untuk memecahkan pokok
persoalan, yang didalamnya akan terlibat pandangan hidup dan cita-cita
pengarang. Hal inilah yang dimaksudkan dengan amanat. Dengan demikian, amanat
merupakan keinginan pengarang untuk menyampaikan pesan atau nasihat kepada
pembacanya.
Jadi amanat pokok yang terdapat dalam cerpen Robohnya
Surau Kami karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan
bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf
kelima halaman delapan kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian
diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat
lain yang mempertegas amanat utama itu. Amanat-amanat yang dimaksud itu di
antaranya:
(a) Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek
atau menasehati kita karena ada perbuatan kita yang kurang layak di hadapan
orang lain. Amanat ini dimunculkan melalui ucapan kakek Garin pada halaman 9.
“Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku
rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik,
beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…”
dari ucapan kakek Garin itu jelas tegambar pandangan hidup/cita-cita
pengarangnya mengenai karangan untuk cepat marah.
(b) Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita
lakukan karena hal ini bisa saja baik di hadapan manusia tetapi tetap kurang
baik di hadapan Tuhan itu. Coba saja tengok pengalaman tokoh yang bernama Haji
Saleh ketika dia disidang di akhirat sana:
“Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak
teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak
mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya
di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang
yang telah sampai 14 kali ke Mekkah dan bergelar Syekh pula ( Hlm. 12 – 13
).
Tidak hanya itu saja. Dari gambaran ini terpapar pula amanat lain, yaitu:
(c) Kita jangan terpesona oleh gelar dan nama besar
sebab hal itu akan mencelakakan diri pemakainya.
3.
Latar
Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam, yaitu: latar tempat;
latar waktu; dan latar sosial.
Latar Tempat
Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini
dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, kampus, hutan, dan sejenisnya.
Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh pengarangnya,
seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke
barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan
kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke
jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau
tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah
pancuran mandi. (hlm. 1 )
Latar Waktu
Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada
yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang sudah dipaparkan di atas pada
latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :
“Pada
suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa
orang-orang yang sudah berpulang ….” (hlm. 10)
Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal
waktu, misalnya:
Jika
tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kebencian yang bakal roboh ………
Sekali
hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm.
“Sedari
mudaku aku di sini, bukan ?….” (hlm.10)
Latar Sosial
Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan
masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup,
dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial digambarkan sebagai berikut :
4.
Alur (plot)
Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan
sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu
rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-hubungan konsolitas itu memiliki
struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian
tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan
seperti berikut.
Bagian Awal
Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen
ini terbagi atas dua bagian, yaitu bagian eksposisi, yang menjelaskan/
memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami cerita. Dalam hal ini,
eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang
kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti
yang diungkapkan pada data berikut :
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku …. akan Tuan temui
seorang tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan
ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau
itu. Orang-orang memanggilnya kakek.
Sebagai
penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejum’at. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari
hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang
mengantarkan fitrah Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih
dikenal sebagai pengasah pisau. Karena Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu.
Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tidak pernah meminta imbalan
apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting,
memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong,
memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).
Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan),
yaitu bagian yang didalamnya terdapat keterbukaan.
Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan
terbuka dengan segala permasalahannya. Perhatikan data berikut :
Tapi
kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah
surau itu tanpa penjaganya ….
Jika
Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat
berlangsungnya …. (hlm.
Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud
cerita mulai bergerak dan tebuka adalah karena informasi ini belum tuntas
bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat dan bagaimana hal itu
bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan
suatu cerita.
Bagian Tengah
Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan
suatu pengembangan cerita tetapi bagian tengah tidak dimulai dari
ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas
pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu
sedikitnya menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan
yang tak dapat disangkal kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:
Dan
biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. (hlm .
Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang
berniat hendak mengupah si Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan
si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.
…
Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang
mengamuk pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan
halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek.
(hlm.
Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik
Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala
tokoh aku menanyakan sesuatu yang berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab
munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan pemilih pisau itu.
Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu
geramnya bahkan mengancam.
“Kurang
ajar dia.” Kakek menjawab.
“
Kenapa ? “
“
Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok
tenggorokannya.” (hlm. 9)
Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan
kekesalannya dengan menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di
hadapan tokoh aku. Dia bercerita karena desakan dari dalam batinnya.
Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk
menyembunyikan apa yang diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang
diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya merasa ringan. Bahkan
mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks
kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh
dirinya sendiri dengan cara menggorok lehernya.
Bagian Akhir
Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya
kejutan (surprise). Kejutannya itu terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika
orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu meninggal dengan cara
mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia berusaha
untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data
berikut menggambarkan hal ini.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja.
Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal ?”
“Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek
tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala
peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab,” dan
sekarang ke mana Dia ?”
“Kerja.”
“Kerja ?” Tanyaku mengulang hampa
“Ya. Dia pergi kerja.” (hlm. 16-17).
Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan
pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang yang tidak bertanggung jawab? Bukankah
perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk membeli kain kafan itu
merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen
ini dikelompokkan ke dalam alur regresif atau alur flash back (sorot balik).
Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh
tokoh Aku kisah itu diceritakan.
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.…
Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di
pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya
kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan
biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan besoknya, ketika Aku mau turun
rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang
meninggal?” Tanyaku kaget.
“Kakek.”
“Kakek?”
(hlm.16).
Penokohan
Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan
perilaku tokoh-tokohnya berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya
sebagai berikut.
a. Tokoh Aku
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari
mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara
menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai
orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi
kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan
itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi:
“Apa ceritanya, kek ?”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi
memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?”.(hlm.9).
“Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat
meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya.
Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.(hlm.16).
b. Ajo Sidi
Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan
tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini
disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku.
Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat
karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu
mengena. Data untuk ini seperti berikut.
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu
dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi
bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi
ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual,
sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya
menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok
dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….(hlm.8-9)
.
Dari
data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.
c. Si Kakek
Tokoh
ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang
tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang
mempercayai omongan orang, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu
mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.
Penggambaran
watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu
seperti menelanjangi kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan
pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan cerita Ajo Sidi.
Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia bisa membenahi
hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia
segera mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.
Sedangkan
gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri
digambarkan melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:
“
Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya
keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku sendiri…(hlm.10).
d. Haji Saleh
Tokoh
ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau
menyindir orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh
penciptanya dan karena kemahirannya Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara
jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu
mementingkan diri sendiri.
6. Titik
Pengisahan
Yang
dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita
tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu
atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita.
Di
dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam
cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung
pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.
Kalau
beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar….(hlm.7).
Sekali
hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku,
karena aku suka memberinya uang….(hlm.8).
Akan tetapi, ketika si kakek
bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini diperolehnya
dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan.
Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang
sebenarnya ia sedang mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan
tokoh utamanya. Di sini pengarang tetap mengunakan kata “Aku”. Walaupun begitu
kata “Aku” ini merupakan kata ganti orang pertama pasif.
“Engkau ?”
“Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.”
………………………………………………………………………
lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji
Saleh –tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang kembali ke posisi sebagai
tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.
5.
Gaya
Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya
biasa disebut sebagai cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang
pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa spesifik oleh seorang pengarang.
Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam memilih dan menggunakan
kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.
Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan
kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin,
Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat,
Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa,
menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan
Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.
Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan
majas. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni
Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol kesucian, keyakinan. Jadi,
melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa
kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh.
Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci
hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat.
Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya.
Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat
luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi
juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam
demi keakuan dirinya dan kelompoknya.
Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di
antaranya majas alegori karena di dalam cerita ini cara berceritanya
menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di akhirat, atau
lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas
alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum
dengan mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini
Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun
menggunakan majas Sinisme seperti yang diucapkan tokoh aku: ”…Dan yang
terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara
apa yang tidak dijaga lagi” (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat
kita sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk
mengingatkan atau menasehati sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat.
Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil. Buktinya, ketika cerpen ini
diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati pembacanya
dan masih terus dibicarakan hingga kini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cerpen Robohnya Surau Kami karya
A.A. Nvis ini memang sebuah sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini
dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik dan kesesuaiannya sebagai bahan
pembelajaran. Adapun hasil analisisnya sebagai berikut.
1. Unsur-unsur Intrinsik
a. Tema
Tema cerpen ini adalah seorang
kepala keluarga yang lalai menghidupi keluarganya.
b. Amanat
Amanat cerpen ini adalah :
1)
jangan cepat marah kalau diejek orang,
2) jangan cepat bangga kalau berbuat baik,
3)
jangan terpesona oleh gelar dan nama besar,
4) jangan menyia-nyiakan yang kamu miliki, dan
5) jangan egois.
c. Latar
Latar yang ada dalam cerpen ini
adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
d. Alur
Alur cerpen ini adalah alur mundur
karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab
kematian kakek Garin. Sedangkan strukturnya berupa bagian awal, tengah, dan
akhir. Adapun alur mundurnya mulai muncul di akhir bagian awal dan berakhir di awal
bagian akhir.
e. Penokohan
Tokoh dalam cerpen ini ada empat
orang, yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh.
1) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang
lain.
2) Ajo Sidi adalah orang yang suka membual
3) Kakek adalah orang yang egois dan lalai, mudah
dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
4) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri
sendiri.
f. Titik Pengisahan
Titik pengisahan cerpen ini yaitu
pengarang berperan sebagai tokoh utama (akuan sertaan) sebab secara langsung
pengarang terlibat di dalam cerita. Selain itu pengarang pun berperan sebagai
tokoh bawahan ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh aku.
g. Gaya
Di dalam cerpen ini pengarang
benar-benar memanfaatkan kata-kata, dan majas alegori, dan sinisme.
2. Berdasarkan uraian di atas, maka cerpen Robohnya
Surau Kami sangat cocok /layak jika dijadikan bahan ajar dalam
pembelajaran sastra di SMU, karena bahasa yang digunakannya bisa dipahami oleh
siswa SMU, konflik psikologis tokoh-tokohnya pun tidak terlalu sulit untuk
dipelajari, selain itu konflik-konflik psikologis yang dimunculkan, masih
sesuai dengan perkembangan psikologis dan pemikiran siswa SMU, dan latar budaya
yang ditampilkannya pun masih tampak umum sehinga siswa yang berlatar belakang
budaya Islam, Kristen, Hindu, dan Budha pun dapat menerimanya. Selain kriteria
ini, guru pun harus membaca terlebih dahulu sebelum pembelajaran dimulai begitu
pula dengan siswanya. Namun, jangan sekali-kali membaca ringkasan cerpen
tersebut tanpa pernah membaca cerita itu seluruhnya. Juga, guru harus kreatif
ketika sedang membelajarkan siswanya. Misalnya, guru harus mampu membangkitkan
minat dan rasa ingin tahu siswa akan isi cerpen tersebut.
B.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian di atas, penulis meyarankan sebagai berikut.
1. Saran untuk guru
- Guru yang sudah berani menetapkan cerpen sebagai bahan
pembelajaran sastra harus pula membacanya berkali-kali agar memahami isinya.
- Di dalam kegiatan pembelajaran, guru harus mampu
membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap cerita tersebut kemudian
mengarahkannya ke dalam pengalaman siswa sehingga ketika siswa membahas cerita
itu, bahasannya benar-benar berdasarkan pengalaman siswa.
- Pemilihan bahan/materi pembelajaran sastra yang berbentuk
cerpen sebaiknya mengikuti kriteria yang ada, yaitu bagaimana bahasanya,
bagaimana kesesuaian psikologisnya, baik untuk tokoh cerita maupun pembacanya
yang duduk di tingkat SMU, dan bagaimana latar budaya yang dimunculkan dalam
cerita itu ? Tentu saja hal ini dilakukan guru sebelum pembelajaran dimulai.
2. Saran untuk siswa
- Sebaiknya siswa harus membaca cerpennya secara utuh
berkali-kali agar memahami isinya.
- Selain itu, baca pula buku-buku yang mengulas isi cerpen
itu jika ada.
- Berdiskusilah dengan penuh minat dan perhatian agar manfaat
sastra bisa dirasakan
- Jika mungkin dan sempat, ikutilah setiap seminar atau
diskusi sastra di manapun.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.1999. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1979. Sari Kesusasteraan Indonesia Jilid 2.
Bandung: Pustaka Prima.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.1994. Metode Penelitian Seni
Budaya Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.
Esten, Mursal. 1984. Kesusastraan: Pengantar teori dan
sejarah. Bandung: Angkasa.
Haryati, A. dan Winarto Adiwardoyo.1990. Latihan
Apresiasi dan Sastra. Malang: Yayasan A3 Malang.
Hoerip, Satyagraha.1984. Cerita Pendek Indonesia 1.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-metode Penelitian
Masyarakat, edisi ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Prima.
Lubis, Mochtar. 1980. Teknik Mengarang. Jakarta :
Kurnia Esa.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi.
Jogjakarta: Gama Media.
Sukada, Made.1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia:
Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung : Angkasa.
Suroto.1989. Teori dan Pembimbingan Apresiasi Sastra
Indonesia untuk SMU. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Henri
Guntur.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Komentar
Posting Komentar