MAKALAH KEUTUHAN WACANA
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan
benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai
“Keutuhan Wacana”.
Makalah
ini telah dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak juga dari beberapa
sumber buku untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini terutama kepada dosen mata kuliah Wacana yaitu
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
bersifat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.
Cianjur,
Maret 2014
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................. 2
C. Tujuan
Masalah......................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Keutuhan
wacana................................................................................... 3
B.
Struktur Wacana.................................................................................... 4
C.
Kohesi dan Koherensi............................................................................ 4
D.
Unsur Gramatikal................................................................................... 6
1. Referensi.......................................................................................... 6
2. Substitusi.......................................................................................... 7
3. Elipsis............................................................................................... 8
4. Paralelisme....................................................................................... 8
5. Konjungsi......................................................................................... 8
E. Unsur
Leksikal....................................................................................... 9
1. Repetisi............................................................................................ 9
2. Sinonimi .......................................................................................... 9
3. Kolokasi........................................................................................... 10
4. Hiponimi ......................................................................................... 11
5. Antonimi.......................................................................................... 11
6. Ekuivalensi ..................................................................................... 11
F. Unsur
Semantis...................................................................................... 12
1. Hubungan
Semantis Antar bagian Wacana..................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Simpulan................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 16
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang
digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat
berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis
dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi
secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi
secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan
penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana.
Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa
yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Suatu
wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu dibangun oleh
komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan.
Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah
organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya.
Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi
(semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Menurut Mulyana
(2005), suatu rangkaian kalimat dikaitkan menjadi struktur wacana apabila
didalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa
disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki
makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.
B. Rumusan Masalah
Masalah
yang terdapat dalam makalah tersebut adalah mengenai Keutuhan Wacana.
C. Tujuan Makalah
Tujan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahuai keutuuhan dalam Wacana.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Keutuhan Wacana
Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur.
Keutuhan itu dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu
organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana.
Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan
bagian-bagiannya. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai
kesatuan maknawi (semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk (sintaksis).
Menurut Mulyana (2005), suatu rangkaian kalimat dikaitkan menjadi struktur
wacana apabila didalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara bagian
yang satu dengan bagian yang lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum
tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu
memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.
Wacana yang utuh adalah
wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyeluruh.
Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah kohesi, koherensi, topik wacana,
aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis, dan aspek semantis (Mulyana,
2005:25-26).
Van Dijk dalam Eriyanto
(2001:104), melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan
yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga
tingkatan. Pertama, struktur makro, yaitu makna global atau umum dari suatu
teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam
suatu berita. Kedua, superstruktur, ialah struktur wacana yang berhubungan
dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam
berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, adalah makna wacana yang dapat
diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak
kalimat, parafrase, dan gambar.
B. Struktur Wacana
Dalam
arti luas, struktur adalah konteks dalam ruang. Dilihat secara khusus, struktur
akan membatasi ruang gerak kebebasan dan daya cipta. Kalau struktur adalah
konteks dalam ruang, sejarah adalah konteks dalam waktu (Kleden, 2004: 364).
Struktur mencakup lapisan-lapisan tertentu. Sebagai sebuah struktur, wacana
merupakan satuan gramatikal yang terbentuk dari dua lapisan, yaitu lapisan
bentuk dan lapisan isi. Kepaduan makna (kohesi) dan kekompakan bentuk (koherensi)
merupakan dua unsur yang turut menentukan keutuhan wacana.
Kajian
struktur wacana bergayutan dengan empat hal, yakni kohesi dan koherensi, unsur
gramatikal, unsur leksikal, dan unsur semantik. Berikut ini paparan dari
masing-masing hal yang berkaitan dengan struktur wacana tersebut.
C. Kohesi dan Koherensi
a. Kohesi merupakan aspek
formal dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat disusun secara padu
dan padat untuk menghasilkan tuturan. Kohesi mengacu pada hubungan antarkalimat
dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun dalam tataran leksikal
(Gutwinsky, 1976: 26). Agar wacana itu kohesif, pemakai bahasa dituntut untuk
memiliki pengetahuan tentang kaidah bahasa, realitas, penalaran (simpulan
sintaksis). Oleh karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian
bentuk bahasa baik dengan ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun konteks
(situasi luar bahasa).
Kohesi
dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti pada bagian berikut.
Gramatikal Leksikal
a. Referensi a.
Sinonimi
b. Sinstitusi b.
Antonimi
c. Ellipsis c.
Hiponimi
d. Pararelisme d.
Kolokasi
e. Konjungsi e.
Repetisi
f. Ekuivalensi
b. Koherensi merupakan unsur
isi dalam wacana, sebagai organisasi semantik, wadah gagasan disusun dalam
urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan dengan tepat. Koherensi
adalah kekompakan hubungan antar kalimat
dalam wacana. Meskipun begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur
sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara. Labov (1965) menjelaskan bahwa
kekoherenan wacana ditentukan pula oleh reaksi tindak ujaran yang terdapat
dalam ujaran kedua terhadap ujaran sebelumnya. Apabila kita menyapa orang yang
tulis misalnya, sering sapaan kita hanya diperkirakan saja maknanya sehingga
jawabannya sering tidak sesuai.
Misalnya:
A : sekarang anak Ibu di mana kerjanya?
B : Baik, Nak. Terima kasih.
Ujaran-ujaran berikut koheren karena B menjawab pertanyaan
A secara
tidak
langsung.
A : ada kuliah pukul 11.00. Sekarang pukul berapa, Mba?
B : Tuh, tukang pos juga baru lewat.
Dalam pengertian A dan B, tukang pos biasanya
lewat pukul 11.00. jadi, B secara tidak langsung telah menjawab A.
Menurut
Widdowson (1982), percakapan singkat tersebut mengikuti salah satu kebiasaan
dalam interaksi dengan urutan sebagai berikut.
A : meminta B untuk melakukan suatu tindakan
B : Menyatakan alasan untuk memenuhi permintaan itu
C : Melakukan sendiri sambil memberi komentar
D.
Unsur
Gramatikal
Keutuhan
wacana dapat dilingkupkan
dengan unsur-unsur gramatikal, seperti : referensi, substitusi, ellipsis,
paralelisme, dan konjungsi.
1. Referensi
Referensi
atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan acuannya. Kata-kata yang
berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacunya
disebut anteseden. Referensi dapat bersifat eksoforis (situasional) apabila
mengacu ke anteseden yang ada di luar wacana, dan bersifat endoforis (tekstual)
apabila yang diacunya terdapat di dalam wacana. Referensi endoforis yang
berposisi sesudah antesedennya disebut referensi anaforis, sedangkan yang
berposisi sebelum antesedennya disebut referensi kataforis.
Misalnya :
1)
Dewi membeli buku ke toko. Isi nya
bagus sekali.
2)
Meskipun kamar nya bagus, jika tidak bisa mengatur nya, tetap tidak akan nyaman. Oleh karena itu, Dedi tidak pernah
belajar di kamar nya.
Referensi
–nya pada wacana 1) bersifat anaforis
karena berposisi sesudah anteseden buku.
Sebaliknya, referen –nya pada wacana
2) bersifat kataforis karena berposisi sebelum anteseden Dedi.
Referensi
dapat dinyatakan dengan pronominal, yaitu kata-kata yang berfungsi untuk
menggantikan nomina atau apa-apa yang dinominakan. Pronominal dalam bahasa
Indonesia dapat diklasifikasikan atai dipilah sebagai berikut.
a. Pronomina
persona:
1) Persona
pertama (penyapa): saya, aku, kita, kami;
2) Persona
kedua (pesapa): engkau, kamu, kau, anda,
kalian;
3) Persona
ketiga (yang dibicarakan): ia, dia,
mereka.
b. Pronomina
posesif: -nya dan pronominal persona
yang ditempatkan di belakang nomina.
c. Pronominal
demonstratif:
1)
Penunjuk endoforis: ini, itu, begitu, begini, segini, segitu;
2)
Penunjuk eksoforis: sini, situ, sana.
d. Pronominal
interogatif: siapa, apa, mana, kapan,
bagaimana, mengapa, berapa.
e. Pronominal
taktakrif: apa-apa, siapa-siapa, semua,
setiap.
2. Substitusi
Substitusi mengacu ke
penggantian kata-kata dengan kata lain. Sibstitusi mirip dengan referensi.
Perbedaannya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan
hubungan leksikal atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa
proverba, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukkan tindakan, keadaan,
hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau sesudahnya juga
dapat berupa substitusi klausal. Perhatikan data berikut ini.
1)
Saya juga tahu bahwa durian itu
bagus-bagus.
Yang ini pun sudah matang-matang
(substitusi nominal).
2)
Mereka bekerja dengan rajin dan tekun.
Saya pun berupaya keras (substitusi verbal).
3)
Saudara-saudaramu sudah datang dari kota.
Bawaannya pun banyak. Terdengar kabar itu
pun (substitusi klausal).
4)
Menurut ayah begini saja. Kamu harus bisa
menabung, jangan boros, dan punya uang jangan selalu dihabiskan. Kata pepatah,
hemat pangkal kaya.
3. Elipsis
Elipsis merupakan
penghilangan satu bagian dari unsure kalimat. Sebenarnya, ellipsis sama dengan
substitusi, tetapi elipsis ini disubstitusikan oleh sesuatu yang kosong.
Elipsis biasanya dilakukan dengan menghilangkan unsur-unsur wacana yang telah
disebutkan sebelumnya. Misalnya:
TEBAK-TEBAKAN
Aa : “Di, kita tebak-tebakan yuk! KB
singkatan dari apa?”
Adi :
“Gampang. Keluarga Berencana.”
Aa : “Kalau RCTI?”
Adi :
“Rajawali Citra Televisi Indonesia.”
Aa : “Bukan, ah.”
Adi :
“Ah, masa.”
Aa : “Rangkaian Cerita Terhalang Iklan.”
Adi :
“Ah, kamu ini, ada-ada saja.”
Ujaran “Bukan, ah”
sebenarnya pernyataan yang hanya sebagian saja. Artinya, ada unsure yang
dilesapkan. Ujaran lengkapnya “Bukan Rajawali Citra televisi Indonesia”. Begitu
juga, “Ah, masa.” Tidak lengkap karena ada yang dilesapkan. Ujaran selengkapnya
“Ah masa, bukan Rajawali Citra Televisi Indonesia?!”
4. Pararelisme
Pararelisme merupakan
pemakaian unsur-unsur gramatikal yang sederajat. Hubungan antara unsur-unsur
itu diurutkan langsung tanpa konjungsi. Misalnya:
Anak orang dipelihara. Anak sendiri dibiarkan. Sok
dermawan.
5. Konjungsi
Konjungsi merupakan
kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur sintaksis (frasa,
klausa, kalimat) dalam satuan yang lebih besar. Sebagai alat kohesi,
berdasarkan perilaku sintaksisnya konjungsi dapat dibedakan sebagai berikut:
1)
Konjungsi koordinatif yang menghubungkan
unsur-unsur sintaksis yang seerajat seperti dan,
atau, tetapi;
2)
Konjungsi subordinatif yang menghubungkan
unsur-unsur sintaksis yang tidak sederajat seperti waktu, meskipun, jika;
3)
Konjungsi korelatif yang posisinya
terbelah, sebagian terletak di awal kalimat, dan sebagian lagi di tengah
kalimat seperti baik…, maupun meskipun…,
tapi…;
4)
Konjungsi antarkalimat yang menghubungkan
kalimat-kalimat dalam sebuah paragraph. Konjungsi ini selalu ada di depan
kallimat seperti karena itu, oleh sebab
itu, sebaliknya, kesimpulannya, jadi….
E. Unsur
Leksikal
Unsur leksikal atau kohesi leksikal adalah hubungan
antarunsur di dalam wacana secara semantis. Kohesi leksikal ini terdiri dari:
pengulangan (repetisi), padan kata (sinonimi), lawan kata (antonimi), sanding kata (kolokasi), hubungan atas-bawah (hiponimi), serta kesepadanan atau
paradigma (ekuivalensi).
1) Repetisi (pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku
kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan
dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam, 2001:35). Berdasarkan tempat satuan
lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan
menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis,
tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan
anadiplosis (Keraf, 1994: 127-128)
2) Sinonimi (padan kata)
Sinonimi diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal
yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain
(Chaer, 1990:85). Secara garis
besar, kata-kata sinonim adalah kata-kata yang sama artinya. Namun sebenarnya
tidak ada dua kata yang seratus persen bersinonim. Hal ini diungkapkan Keraf
(1984:131) bahwa antara dua kata selalu terdapat perbedaan, walaupun sedikit
saja; entah perbedaan itu berupa perasaan kata saja maupun perbedaan makna dan
perbedaan lingkungan yang dapat dimasukinya. Sinonimi merupakan salah satu
aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin
hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan
lingual lain dalam wacana.
Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat
dibedakan menjadi lima macam yaitu, (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan
morfem (terikat), (2) kata dengan kata (3) kata dengan frase atau sebaliknya,
(4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.
3) Kolokasi (sanding kata)
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam
menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan.
Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam satu
domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan
digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis misalnya, merupakan contoh kata-kata yang cenderung
dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan.
4) Hiponimi (hubungan atas-bawah)
Hiponimi (hubungan atas-bawah) diartikan sebagai satuan
bahasa (kata, frase, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari
makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi
beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut ”hipernim” atau
“superordinat”.
5) Antonimi (lawan kata)
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda
atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau
beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi
makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan
sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan
menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub (3) oposisi
hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau
antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan
wacana secara semantis (Sumarlam, 2003:40).
6) Ekuivalensi (kesepadanan atau
paradigma)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan
lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam
hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama yang
menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan,, dan
pembeli, semuanya dibentuk dari
bentuk asal yang sama yaitu beli.
Demikian pula belajar, mengajar, pelajar,
pengajar, dan pelajaran yang
dibentuk dari bentuk asal ajar juga
merupakan hubungan ekuivalensi. Seperti contoh berikut.
(a)
Andi
memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali dalam
belajar. Apa yang telah diajarkan
oleh guru pengajar di sekolah diterima dan dipahaminya
dengan baik. Andi merasa senang dan tertarik pada semua pelajaran.
(b)
Fatimah
rajin sekali membaca buku. Baik buku pelajaran maupun buku bacaan lainnya. Ia mempunyai
perpustakaan kecil di rumahnya. Hampir semua buku yang dikoleksi sudah dibaca. Fatimah bercita-cita ingin menjadi pembaca berita di
televisi agar semua orang mengenalnya.
D. Unsur Semantis
Hubungan-hubungan
semantis antara kalimat-kalimat
yang menyebabkan wacana itu memang banyak di antaranya yaitu:
1. sebab-akibat,
2. sarana- hasil,
3. alasan-sebab,
4. sarana-tujuan,
5. latar-simpulan,
6. kelonggaran-hasil,
7. syarat-hasil,
8. perbandingan
9. parafrasis,
10. amplikatif,
11. aditif waktu,
12. aditif nonwaktu,
13. identifikasi,
14. generik-spesifik, dan
15. ibarat.
Hubungan
– hubungan antara kalimat-kalimat itu terjadi baik sebagai sebab pada kalimat
pertama dan akibat pada kalimat kedua. Bisa juga denganperbandingan pada
kalimat kedua dan seterusnya.
Contoh hubungan semantis :
1.
Hubungan
sebab-akibat
Ia tidak mungkin
menemukan buku fiksi di perpustakaan itu.Koleksi perpustakaan itu khusus buku
nonfiksi ilmiah.
2.
Hubungan
sarana-hasil
Atlit
bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaran Indonesia terbuka. Kita tidak
usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.
3. Hubungan
alasan-sebab
Tahun
ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali mereka numpang
di rumah saudara.
4.
Hubungan sarana-tujuan
Bekerjalah dengan keras. Cita-citamu menjadi
kaya raya bakal kesampaian.
5.
Hubungan latar-simpulan
Mobil itu sudah tua, tetapi sehat. Rupanya
pemiliknya pandai merawatnya.
6. Hubungan
kelonggaran-hasil
Sudah lama aku di kota ini mencarinya.
Alamat itu tak juga kutemukan.
7.
Hubungan syarat-hasil
Beri bumbu dan penyedap yang tepat.
Masakanmu pasti enak.
8. Hubungan
perbandingan
Pengantin
itu sangat anggun. Seperti dewa-dewi
dari khayangan.
9. Hubungan
parafrasis
Saya
tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena tahun lalu
dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat.
10. Hubungan
amplikatif
Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan
dalam satu kandang saja.
11. Hubungan aditif waktu
(simultan dan beruntun)
a. Biar
dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini. (simultan)
b. Kita
sudah sampai di Yogya. Langsung ke Parangtritis saja. Habis itu baru belanja
dan cari makan di Malioboro. (beruntun)
12. Hubungan
aditif nonwaktu
Para petani itu malas? Atau kurang beruntung ?
13. Hubungan
identifikasi
Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak bearti bodoh. Kamu tahu Einstein?
Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk
ke universitas.
14. Hubungan
generik-spesifik
Gadis
model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya sangat menawan.
Apalagi jalannya, luar biasa.
15.
Hubungan ibarat
Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang
dia seperti belut di lumpur basah.
Hubungan
semantik dalam sesuatu wacana juga dikaitkan dengan situasi wacana. Dalam hal
ini, pengetahuan tentang bahasa yang digunakan akan membantu seseorang memahami
sesuatu wacana . Dalam tulisan menggunakan tanda baca seperti koma,
komabertitik, dan sebagainya.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Suatu
wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu dibangun oleh
komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan.
Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah
organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya.
Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi
(semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk (sintaksis).
Kajian struktur wacana
bergayutan dengan empat hal, yakni kohesi dan koherensi, unsur gramatikal,
unsur leksikal, dan unsur semantik. Berikut ini paparan dari masing-masing hal
yang berkaitan dengan struktur wacana tersebut
DAFTAR
PUSTAKA
Sudaryat, Yayat. 2008. Makna Dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.
Komentar
Posting Komentar