MAKALAH KEUTUHAN WACANA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Keutuhan Wacana”.
Makalah ini telah dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak juga dari beberapa sumber buku untuk menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada dosen mata kuliah Wacana yaitu 
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang bersifat membangun. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Aamiin.



                                                                                  Cianjur, Maret 2014


                                                                                           Penulis,






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang....................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................. 2
C.     Tujuan Masalah...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Keutuhan wacana................................................................................... 3
B.     Struktur Wacana.................................................................................... 4
C.     Kohesi dan Koherensi............................................................................ 4
D.    Unsur Gramatikal................................................................................... 6
1.    Referensi.......................................................................................... 6
2.    Substitusi.......................................................................................... 7
3.    Elipsis............................................................................................... 8
4.    Paralelisme....................................................................................... 8
5.    Konjungsi......................................................................................... 8
E.     Unsur Leksikal....................................................................................... 9
1.      Repetisi............................................................................................ 9
2.      Sinonimi .......................................................................................... 9
3.      Kolokasi........................................................................................... 10
4.      Hiponimi ......................................................................................... 11
5.      Antonimi.......................................................................................... 11
6.      Ekuivalensi ..................................................................................... 11
F.      Unsur Semantis...................................................................................... 12
1.      Hubungan Semantis Antar bagian Wacana..................................... 12
BAB III PENUTUP
A.    Simpulan................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa. Disiplin ilmu yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan.
Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Menurut Mulyana (2005), suatu rangkaian kalimat dikaitkan menjadi struktur wacana apabila didalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.





B.  Rumusan Masalah
Masalah yang terdapat dalam makalah tersebut adalah mengenai Keutuhan Wacana.

C.  Tujuan  Makalah
Tujan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahuai keutuuhan dalam Wacana.





















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Keutuhan Wacana
Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk (sintaksis). Menurut Mulyana (2005), suatu rangkaian kalimat dikaitkan menjadi struktur wacana apabila didalamnya terdapat hubungan emosional (maknawi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantik.
            Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyeluruh. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain adalah kohesi, koherensi, topik wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis, dan aspek semantis (Mulyana, 2005:25-26).
            Van Dijk dalam Eriyanto (2001:104), melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yaitu makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, ialah struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.



B.     Struktur Wacana
Dalam arti luas, struktur adalah konteks dalam ruang. Dilihat secara khusus, struktur akan membatasi ruang gerak kebebasan dan daya cipta. Kalau struktur adalah konteks dalam ruang, sejarah adalah konteks dalam waktu (Kleden, 2004: 364). Struktur mencakup lapisan-lapisan tertentu. Sebagai sebuah struktur, wacana merupakan satuan gramatikal yang terbentuk dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan lapisan isi. Kepaduan makna (kohesi) dan kekompakan bentuk (koherensi) merupakan dua unsur yang turut menentukan keutuhan wacana.
Kajian struktur wacana bergayutan dengan empat hal, yakni kohesi dan koherensi, unsur gramatikal, unsur leksikal, dan unsur semantik. Berikut ini paparan dari masing-masing hal yang berkaitan dengan struktur wacana tersebut.

C.    Kohesi dan Koherensi
a.           Kohesi merupakan aspek formal dalam organisasi sintaksis, wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Kohesi mengacu pada hubungan antarkalimat dalam wacana, baik dalam tataran gramatikal maupun dalam tataran leksikal (Gutwinsky, 1976: 26). Agar wacana itu kohesif, pemakai bahasa dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang kaidah bahasa, realitas, penalaran (simpulan sintaksis). Oleh karena itu, wacana dikatakan kohesif apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa baik dengan ko-teks (situasi dalam bahasa) maupun konteks (situasi luar bahasa).
Kohesi dapat dibedakan atas beberapa jenis seperti pada bagian berikut.







       KOHESI

                                       Endoforis                 Eksoforis

           
Gramatikal                                                      Leksikal
a.       Referensi                                                   a. Sinonimi
b.      Sinstitusi                                                   b. Antonimi
c.       Ellipsis                                                       c. Hiponimi
d.      Pararelisme                                                d. Kolokasi
e.       Konjungsi                                                  e. Repetisi
                                    f. Ekuivalensi

b.           Koherensi merupakan unsur isi dalam wacana, sebagai organisasi semantik, wadah gagasan disusun dalam urutan yang logis untuk mencapai maksud dan tuturan dengan tepat. Koherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wacana. Meskipun begitu, interpretasi wacana berdasarkan struktur sintaksis dan leksikal bukan satu-satunya cara. Labov (1965) menjelaskan bahwa kekoherenan wacana ditentukan pula oleh reaksi tindak ujaran yang terdapat dalam ujaran kedua terhadap ujaran sebelumnya. Apabila kita menyapa orang yang tulis misalnya, sering sapaan kita hanya diperkirakan saja maknanya sehingga jawabannya sering tidak sesuai.
Misalnya:
            A : sekarang anak Ibu di mana kerjanya?
            B : Baik, Nak. Terima kasih.
            Ujaran-ujaran berikut koheren karena B menjawab pertanyaan A secara
tidak langsung.
            A : ada kuliah pukul 11.00. Sekarang pukul berapa, Mba?
            B : Tuh, tukang pos juga baru lewat.
Dalam pengertian A dan B, tukang pos biasanya lewat pukul 11.00. jadi, B secara tidak langsung telah menjawab A.

Menurut Widdowson (1982), percakapan singkat tersebut mengikuti salah satu kebiasaan dalam interaksi dengan urutan sebagai berikut.
            A : meminta B untuk melakukan suatu tindakan
            B : Menyatakan alasan untuk memenuhi permintaan itu
            C : Melakukan sendiri sambil memberi komentar

D.                Unsur Gramatikal
            Keutuhan wacana dapat dilingkupkan dengan unsur-unsur gramatikal, seperti : referensi, substitusi, ellipsis, paralelisme, dan konjungsi.
1.    Referensi
            Referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan acuannya. Kata-kata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacunya disebut anteseden. Referensi dapat bersifat eksoforis (situasional) apabila mengacu ke anteseden yang ada di luar wacana, dan bersifat endoforis (tekstual) apabila yang diacunya terdapat di dalam wacana. Referensi endoforis yang berposisi sesudah antesedennya disebut referensi anaforis, sedangkan yang berposisi sebelum antesedennya disebut referensi kataforis.
Misalnya :
1)      Dewi membeli buku ke toko. Isi nya bagus sekali.
2)      Meskipun kamar nya bagus, jika tidak bisa mengatur nya, tetap tidak akan nyaman. Oleh karena itu, Dedi tidak pernah belajar di kamar nya.
Referensi –nya pada wacana 1) bersifat anaforis karena berposisi sesudah anteseden buku. Sebaliknya, referen –nya pada wacana 2) bersifat kataforis karena berposisi sebelum anteseden Dedi.
Referensi dapat dinyatakan dengan pronominal, yaitu kata-kata yang berfungsi untuk menggantikan nomina atau apa-apa yang dinominakan. Pronominal dalam bahasa Indonesia dapat diklasifikasikan atai dipilah sebagai berikut.
a.    Pronomina persona:
1)   Persona pertama (penyapa): saya, aku, kita, kami;
2)   Persona kedua (pesapa): engkau, kamu, kau, anda, kalian;
3)   Persona ketiga (yang dibicarakan): ia, dia, mereka.
b.    Pronomina posesif: -nya  dan pronominal persona yang ditempatkan di belakang nomina.
c.    Pronominal demonstratif:
1)        Penunjuk endoforis: ini, itu, begitu, begini, segini, segitu;
2)        Penunjuk eksoforis: sini, situ, sana.
d.    Pronominal interogatif: siapa, apa, mana, kapan, bagaimana, mengapa, berapa.
e.    Pronominal taktakrif: apa-apa, siapa-siapa, semua, setiap.

2.   Substitusi
Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Sibstitusi mirip dengan referensi. Perbedaannya, referensi merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan hubungan leksikal atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa proverba, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukkan tindakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal. Perhatikan data berikut ini.
1)        Saya juga tahu bahwa durian itu bagus-bagus.
Yang ini pun sudah matang-matang (substitusi nominal).
2)        Mereka bekerja dengan rajin dan tekun. Saya pun berupaya keras (substitusi verbal).
3)        Saudara-saudaramu sudah datang dari kota.
Bawaannya pun banyak. Terdengar kabar itu pun (substitusi klausal).
4)        Menurut ayah begini saja. Kamu harus bisa menabung, jangan boros, dan punya uang jangan selalu dihabiskan. Kata pepatah, hemat pangkal kaya.



3.    Elipsis
Elipsis merupakan penghilangan satu bagian dari unsure kalimat. Sebenarnya, ellipsis sama dengan substitusi, tetapi elipsis ini disubstitusikan oleh sesuatu yang kosong. Elipsis biasanya dilakukan dengan menghilangkan unsur-unsur wacana yang telah disebutkan sebelumnya. Misalnya:

TEBAK-TEBAKAN
Aa        : “Di, kita tebak-tebakan yuk! KB singkatan dari apa?”
Adi      : “Gampang. Keluarga Berencana.”
Aa        : “Kalau RCTI?”
Adi      : “Rajawali Citra Televisi Indonesia.”
Aa        : “Bukan, ah.”
Adi      : “Ah, masa.”
Aa        : “Rangkaian Cerita Terhalang Iklan.”
Adi      : “Ah, kamu ini, ada-ada saja.”
Ujaran “Bukan, ah” sebenarnya pernyataan yang hanya sebagian saja. Artinya, ada unsure yang dilesapkan. Ujaran lengkapnya “Bukan Rajawali Citra televisi Indonesia”.   Begitu juga, “Ah, masa.” Tidak lengkap karena ada yang dilesapkan. Ujaran selengkapnya “Ah masa, bukan Rajawali Citra Televisi Indonesia?!”

4.    Pararelisme
Pararelisme merupakan pemakaian unsur-unsur gramatikal yang sederajat. Hubungan antara unsur-unsur itu diurutkan langsung tanpa konjungsi. Misalnya:
Anak orang dipelihara. Anak sendiri dibiarkan. Sok dermawan.

5.    Konjungsi
Konjungsi merupakan kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur sintaksis (frasa, klausa, kalimat) dalam satuan yang lebih besar. Sebagai alat kohesi, berdasarkan perilaku sintaksisnya konjungsi dapat dibedakan sebagai berikut:
1)        Konjungsi koordinatif yang menghubungkan unsur-unsur sintaksis yang seerajat seperti dan, atau, tetapi;
2)        Konjungsi subordinatif yang menghubungkan unsur-unsur sintaksis yang tidak sederajat seperti waktu, meskipun, jika;
3)        Konjungsi korelatif yang posisinya terbelah, sebagian terletak di awal kalimat, dan sebagian lagi di tengah kalimat seperti baik…, maupun meskipun…, tapi…;
4)        Konjungsi antarkalimat yang menghubungkan kalimat-kalimat dalam sebuah paragraph. Konjungsi ini selalu ada di depan kallimat seperti karena itu, oleh sebab itu, sebaliknya, kesimpulannya, jadi….

E.  Unsur Leksikal
Unsur leksikal atau kohesi leksikal adalah hubungan antarunsur di dalam wacana secara semantis. Kohesi leksikal ini terdiri dari: pengulangan (repetisi), padan kata (sinonimi), lawan kata (antonimi), sanding kata (kolokasi), hubungan atas-bawah (hiponimi), serta kesepadanan atau paradigma (ekuivalensi).

1) Repetisi (pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam, 2001:35). Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis (Keraf, 1994: 127-128)

2) Sinonimi (padan kata)
Sinonimi diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Chaer, 1990:85). Secara garis besar, kata-kata sinonim adalah kata-kata yang sama artinya. Namun sebenarnya tidak ada dua kata yang seratus persen bersinonim. Hal ini diungkapkan Keraf (1984:131) bahwa antara dua kata selalu terdapat perbedaan, walaupun sedikit saja; entah perbedaan itu berupa perasaan kata saja maupun perbedaan makna dan perbedaan lingkungan yang dapat dimasukinya. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana.
Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam yaitu, (1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata (3) kata dengan frase atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.

3) Kolokasi (sanding kata)
Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam satu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Kata-kata seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis misalnya, merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain sekolah atau jaringan pendidikan.

4) Hiponimi (hubungan atas-bawah)
Hiponimi (hubungan atas-bawah) diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frase, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut ”hipernim” atau “superordinat”.

5) Antonimi (lawan kata)
Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan wacana secara semantis (Sumarlam, 2003:40).

6) Ekuivalensi (kesepadanan atau paradigma)
Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama yang menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan,, dan pembeli, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu beli. Demikian pula belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pelajaran yang dibentuk dari bentuk asal ajar juga merupakan hubungan ekuivalensi. Seperti contoh berikut.

(a)          Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali dalam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar di sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang dan tertarik pada semua pelajaran.
(b)          Fatimah rajin sekali membaca buku. Baik buku pelajaran maupun buku bacaan lainnya. Ia mempunyai perpustakaan kecil di rumahnya. Hampir semua buku yang dikoleksi sudah dibaca. Fatimah bercita-cita ingin menjadi pembaca berita di televisi agar semua orang mengenalnya.



D.  Unsur Semantis
Hubungan-hubungan semantis antara kalimat-kalimat yang menyebabkan wacana itu memang banyak di antaranya yaitu:
1. sebab-akibat,
2. sarana- hasil,
3. alasan-sebab,
4. sarana-tujuan,
5. latar-simpulan,
6. kelonggaran-hasil,
7.  syarat-hasil,
8. perbandingan
9. parafrasis,
10. amplikatif,
11. aditif waktu,
12. aditif nonwaktu,
13. identifikasi,
14. generik-spesifik, dan
15. ibarat.
Hubungan – hubungan antara kalimat-kalimat itu terjadi baik sebagai sebab pada kalimat pertama dan akibat pada kalimat kedua. Bisa juga denganperbandingan pada kalimat kedua dan seterusnya.
Contoh hubungan semantis :
1.    Hubungan sebab-akibat
Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu.Koleksi perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.
2.    Hubungan sarana-hasil
Atlit bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaran Indonesia terbuka. Kita tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.
3.    Hubungan alasan-sebab
Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali mereka numpang di rumah saudara.


4.    Hubungan sarana-tujuan
Bekerjalah dengan keras. Cita-citamu menjadi kaya raya bakal kesampaian.
5.    Hubungan latar-simpulan
Mobil itu sudah tua, tetapi sehat. Rupanya pemiliknya pandai merawatnya.
6.    Hubungan kelonggaran-hasil
Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga kutemukan.
7.    Hubungan syarat-hasil
Beri bumbu dan penyedap yang tepat. Masakanmu pasti enak.
8.    Hubungan perbandingan
Pengantin itu sangat anggun. Seperti  dewa-dewi dari khayangan.
9.    Hubungan parafrasis
Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat.
10.    Hubungan amplikatif
Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.
11. Hubungan aditif waktu (simultan dan beruntun)
a. Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini. (simultan)
b. Kita sudah sampai di Yogya. Langsung ke Parangtritis saja. Habis itu baru belanja dan cari makan di Malioboro. (beruntun)
12. Hubungan aditif nonwaktu
Para petani itu malas? Atau kurang  beruntung ?
13.    Hubungan identifikasi
Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak bearti bodoh. Kamu tahu Einstein?
Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke universitas.
14.    Hubungan generik-spesifik
Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya sangat menawan. Apalagi jalannya, luar biasa.
15.    Hubungan ibarat
Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang dia seperti belut di lumpur basah.
Hubungan semantik dalam sesuatu wacana juga dikaitkan dengan situasi wacana. Dalam hal ini, pengetahuan tentang bahasa yang digunakan akan membantu seseorang memahami sesuatu wacana . Dalam tulisan menggunakan tanda baca seperti koma, komabertitik, dan sebagainya.










BAB III
PENUTUP

A.  Simpulan
Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya. Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantik) daripada sebagai kesatuan bentuk (sintaksis).
Kajian struktur wacana bergayutan dengan empat hal, yakni kohesi dan koherensi, unsur gramatikal, unsur leksikal, dan unsur semantik. Berikut ini paparan dari masing-masing hal yang berkaitan dengan struktur wacana tersebut

















DAFTAR PUSTAKA

Sudaryat, Yayat. 2008. Makna Dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH ARTIKEL ILMIAH

Analisis Cerpen "Anak Kebanggaan"

Analisis Novel "Hapalan Shalat Delisa"