PERUBAHAN MAKNA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
perubahan makna adalah
sebagai akibat perkembangan bahasa. Perubahan makna terjadi dapat pula sebagai
akibat:
1.
Faktor kebahasaan
(linguistic causes)
2.
Faktor kesejarahan
(historical cause), yang dapat diuraikan di atas: objek, institusi, ide, dan
konsep ilmiah
3.
Sebab sosial (social
cause)
4.
Faktor psikologis
(psycological causes) yang berupa: fakor emutif, kata-kata tabu: (1) tabu
karena takut (2) tabu karena kehalusan (3) tabu karena kesopanan.
5.
Pengaruh bahasa asing
6.
Karen kebutuhan akan
kata-kata baru.
Sebab lain linguistis berhubungan dengan faktor
kebahasaan, baik yang ada hubungannya dengan fonologi, morfologi, atau
sintaksis.
Bahasa yang berkembang
sejalan dengan bahasa Indonesia selain bahasa daerah, terdapat pula bahasa
asing. Perubahan makna dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Lingkungan masyarakat
dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai di dalam
lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di
lingkungan lain.
Perubahan
makna dapat dianggap sebagai akibat hasil proses yang disebabkan oleh (1)
hubungan sintagmatik, (2) rumpang di dalam kosa kata, (3) peraliahan dari
pengacuan yang kongkret ke pengacuan abstrak, (4) timbulnya gejala sinestesia
dan (5) penerjemahan harfiah.
Makna
berkembang dengan melalui perubahan, perluasan, penyempitan, atau pergeseran.
Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) bahasa indonesia yang disebut
eufemisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya (kata,
frase) dengan yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata
yang dianggap memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud
dengan perubahan makna?
2.
Bagaimana proses
perubahan makna?
3.
Bagaimana
terjadinya pergeseran makna?
C.
TUJUAN MASALAH
1.
Untuk mengetahui
pengertian perubahan makna.
2.
Untuk mengetahui
proses perubahan makna.
3.
Untuk mengetahui
terjadinya pergeseran makna.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PERUBAHAN
MAKNA
Seperti dinyatakan
terdahulu bahwa faktor-faktor yang mengakibatkan perubahan makna adalah sebagai
akibat perkembangan bahasa. Perubahan makna terjadi dapat pula sebagai akibat:
1.
Faktor kebahasaan
(linguistic causes)
2.
Faktor kesejarahan
(historical cause), yang dapat diuraikan di atas: objek, institusi, ide, dan
konsep ilmiah
3.
Sebab sosial (social
cause)
4.
Faktor psikologis
(psycological causes) yang berupa: fakor emutif, kata-kata tabu: (1) tabu
karena takut (2) tabu karena kehalusan (3) tabu karena kesopanan.
5.
Pengaruh bahasa asing
6.
Karen kebutuhan akan
kata-kata baru.
Sebab
lain linguistis behubungan dengan faktor kebahasaan, baik yang ada hubungannya
dengan fonologi, morfologi, atau sintaksis. Kata sahaya pada mulanya dihubungkan dengan budak tetapi dengan
perubahan menjadi saya, maka kata
tersebut selalu mengacu kepada pronomina pertama netral (tidak ada unsur tidak
hormat/hormat) dan bila dibandingkan dengan aku,
maka aku mengandung unsur intim. Pronomina persona pertama jamak bahasa
indonesia kita menjadi kita-kita ‘meremehkan’ atau ‘menganggap
enteng’, secara morfologis bandingkanlah perubahan makna berikut:
Bermain - bermain-main
Membaca - membaca-baca
Menari - menari-nari
Bandingkanlah
makna kalimat berikut dan lesapkanlah satu unsur bahasa yang mengakibatkan
perubahan makna:
1.
Pada pertemuan itu saya
mencium dia
Bila kita selipkan kata
hanya, maka akan dihasilkan ekspresi dengan makna yang bermacam.
2.
Pada pertemuan itu saya
hanya mencium dia.
Bila hanya mengawali ekspresi tersebut, maka akan dihasilkan:
3.
Hanya pertemuan itu saya
mencium dia.
Atau hanya ditempatkan sebelum pronomina persona, maka akan didapatkan
ekspresi:
4.
Pada pertemuan itu hanya saya mencium dia (yang mencium
dia).
Sebab
historis adalah hal-hal yang berhubungan dengan faktor kesejaahan, perkembangan
kata. Misalnya negoisasi berasal dari kata Inggris negotiation ‘perundungan’.
Kata tersebut masuk ke dalam bahasa indonesia pada waktu perang Inggris dengan
Argentina. Demikian pula, kata seni
yang makna asalnya adalah ‘air kencing’, tetapi sekarang berubah maknanya
menjadi ‘segala sesuatu yang indah’.
Sebab
sosial muncul akibat perkembangan kata itu di masyarakat, misalnya kata
grombolan pada mulanya bermakna ‘orang yang berkumpul’ atau ‘kerumunan orang’,
tetapi kemudian kata tersebut tidak disukai lagi karena selalu dihbungkan
dengan pemberontak atau perampok. Sesudah tahun 1945 orang dapat berkata
(1)
Gerombolan
semakin mengganas, tentara semakin melalai.
Atau sebelum tahun 1945
ditemukan ekspresi
(2)
Gerombolan
pemuda itu menuju pasar.
Setelah tahun 1945 kata gerombolan enggan dipakai bahkan
ditakuti
Kata
simposium pada mulanya bermakna ‘orang yang minum-minum di lestoran dan
kadang-kadang ada acara dansa yang diselingi diskusi’. Dewasa ini kata
simposium lebih menitik beratkan pada diskusi, membahas berbagai masalah dalam
bidang ilmu tertentu.
Kebutuhan
akan kata baru sebagai akibat perkembangan pikiran manusia. Kebutuhan tersebut
bukan saja karena kata atau istilah itu belum ada, tetapi orang merasa perlu
menciptakan istilah baru untuk suatu konsep.
1.
Perubahan Makna dari
Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia
Bahasa
yang berkembang sejalan dengan bahasa Indonesia selain bahasa daerah, terdapat
pula bahasa asing. Perubahan makna dari bahasa daerah ke dalam bahasa
Indonesia, sebagai contoh misalnya kata seni
(seperti dinyatakan terdahulu) yang kemudian di dalam bahasa Indonesia bermakna
sepadan dengan bahasa Belanda yaitu kunst.
Bila kita melihat makna kata seni: halus, air seni atau air kencing, kecakapan
membuat sesuatu yang elok-elok atau indah ( Poerwadarminta, 1976: 916-917).
Bagi masyarakat melayu kata seni lebih
banyak dihubungkan dengan air seni atau air kencing.
Kosakata
bahasa daerah tertentu yang masuk ke dalam bahasa Indonesia dirasakan tidak
layak diucapkan bagi daerahnya, tetapi di dalam bahasa Indonesia maknanya
menjadi layak dan dipakai oleh masyarakat bahasa Indonesia yang berasal dari
daerah lain, seperti kata-kata:
(1)
Butuh,
berasal dari bahasa Palembang butuh ‘alat kelamin laki-laki’, di dalam bahasa Indonesia selain
butuh didapatkan pula membutuhkan, dibutuhkan, dan makna butuh menjadi ‘perlu’
(2)
Kata
tele bagi masyarakat Gorontalo berarti ‘alat
kelamin perempuan’, tetapi di dalam bahasa Indonesia dipakai bertele-tele, lebih banyak dihubungkan
dengan berkepanjangan ketika menjelaskan sesuatu.
Kata-kata
daerah yang masuk ke dalam bahasa Indonesia yang dirasakan tidak layak
diucapkan bagi suatu daerah, tetapi tidak demikian bagi daerah lainnya, dan
lama kelamaan mungkin tidak dirasakan lagi ketaktan untuk mengungkapkannya,
seperti berikut:
(1)
Hal tersebut membutuhkan pemikiran lebih lanjut
(2)
Jangan bertele-tele kalau bicara hal tersebut.
Bila
dirasakan tidak layak karena alasan makna yang berasal dari bahasa daerah, maka
akan diganti dengan:
(1)
Hal tersebut memerlukan pemikiran lebih lanjut
(2)
Jangan berkepanjangan kalau berbicara hal
tersebut.
Melihat
data di atas perubahan makna dapat terjadi bagi kosakata bahasa daerah yang
dipungut bahasa Indonesia.
2.
Perubahan Makna Akibat
Lingkungan
Lingkungan
masyarakat dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai di
dalam lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di
lingkungan lain. Misalnya, kata seperti cetak,
bagi yang bergerak di lingkungan persurat kabaan, selalu dihubungkan dengan
tinta, huruf, dan kertas, tetapi bagi dokter lain lagi, dan lain pula bagi
pemain sepak bola. Bandingkanlah contoh berikut:
(1)
Buku ini dicetak di balai pustaka
(2)
Cetakan
buku bata itu besar-besar
(3)
Pemerintah menggiatkan pencetakan lahan baru bagi petani
(4)
Dokter banyak mencetak uang
(5)
Ali mencetak lima gol
dalam pertandingan itu.
Kata
sumber yang lebih banyak dihubungkan dengan mata air atau tempat asalnya air
(dari gunung, hutan) berpadan dengan kata Inggris resourcers ‘sumber’. Kata
sumber sekarang berkembang dan dipakai di kalangan persurat kabaran (misalnya
sumber berita), di lingkungan kemanan ( misalnya sumber kerawanan, sumber
kejahatan), di lingkungan ahli bahasa mengenal istilah bahasa sumber, di
lingkungan kesehatan (misalnya sumber penyakit), di lingkungan sosial (sumber
pendapatan), di lingkungan pendidikan (misalnya sumber pendapat atau nara sumber).
Kata
rawat, merawat, dirawat semula hanya dihubungkan dengan usaha menyembuhkan oang
yang sakit dan dipakai di lingkungan rumah sakit, yang kemudian muncul pula
perawat, atau juru rawat. Kata tersebut meluas dan berkembang pemakaiannya,
sehingga didapatkan merawat ayam, merawat tumbuhan, dan sebagainya. Kata yang
berkembang di lingkungan kesehatan adalah kata salin, misalnya menjadi
bersalin, rumah sakit bersalin. Bagi lingkungan pendidikan makna salin
dihubungkan dengan pelajaran, sehingga didaptkan menyalin pelajaran. Lingkungan
masyarakat umumnya mengetahui bahwa makna salin sama dengan mengganti, sehingga
bersalin maknanya berganti pakaian, misalnya pada:
“Tunggu
sebentar, ia sedang bersalin baju”.
Pertimbangkanlah
kata pelanggan “orang yang berlangganan” memiliki perkembangan lingkungan
pemakaian, sehingga tidak hanya didapatka hubungan antara pedagang dan pembeli
(barang atau benda-benda tertentu), sekarang digunakan pula di lingkungan WTS,
yang bermakna “laki-laki yang selalu mendatangi WTS tersebut”.
3.
Perubahan Makna Akibat
Gabungan Kata
Perubahan
makna dapat terjadi sebagai akibat gabungan kata, sebagai contoh dari kata
surat (sebagai makna umum (1) kertas (kain dan sebagainya) yang bertulis
(berbagai-bagai isi maksudnya); (2) secari kertas (kain dan sebagainya) sebagai
tanda atau keterangan; (3) tulisan (yang tertulis), (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 1988: 872) dapat bergabung dengan kata lain dan maknanya berbeda,
seperti pada:
(1) surat
jalan
(2) surat
perintah
(3) surat
keterangan
(4) surat
kaleng
dst.
Surat
yang dikirimkan orang tanpa menyebutkan alamat pengiring disebut surat kaleng, sama sekali tidak ada
hubungan makna antara surat dan kaleng. Kita masih dapat mengikuti makna
asosiasi di dalam surat jalan atau surat perintah dan sebagainya tetapi, di
dalam surat kaleng sama sekali tidak
dihubungkan dengan makna asosiasi.
Perubahan
makna akibat gabungan kata a.1. terjadi pula pada rumah dan makna akibat
gabungan tersebut menunjukan tempat melakukan sesuatu atau tempat khusus, seperti
pada;
(1) rumah
sakit
(2) rumah
makan
(3) rumah
tahanan
(4) rumah
jompo
Sekarang
muncul pula gabungan antara panti
dengan kata lain yang bermakna tempat melakukan sesuatu, seperti pada panti asuhan, panti pijat dan
sebagainya.
B.
PROSES
YANG MENGAKIBATKAN PERUBAHAN MAKNA
Salah
satu aspek dari perubahan bahasa adalah perubahan makna. Perubahan makna ini
menjadi sasaran kajian semantik historis. Perubahan makna dapat dianggap
sebagai akibat hasil proses yang disebabkan oleh (1) hubungan sintagmatik, (2)
rumpang di dalam kosa kata, (3) peraliahan dari pengacuan yang kongkret ke
pengacuan abstrak, (4) timbulnya gejala sinestesia dan (5) penerjemahan
harfiah.
Fakta
menunjukan bahwa terdapat banyak kata yang bermacam ragam, yang mengakibatkan
suatu kata A misalnya, bila dihubungkan dengan suatu kata B, akan mempunyai
jenis hubungan yang berbeda bila kata A tersebut dihubungkan dengan kata lain
C. Dari kenyataan itu kita harus memahami kajian kata (termasuk perubahan
maknanya) melalui hubungannya atau sebab-sebab terjadinya perubahan makna.
1.
Hubungan Sintagmatik
Satuan
leksikal dapat mengalami perubahan arti karena (a) kekeliruan pemenggalan
morfem-morfemnya, misalnya, kata Jawa pramugari
yang terjadi dari awalan pra- dan
bentuk dasar mugari ‘pembantu tuan
rumah pada peralatan’; dipenggal menjadi pramu-
dan –gari. Pemenggalan yang salah ini
dipakai untuk menghasilkan bentuk-bentuk lain dengan analogi, sehingga muncul
bentuk-bentuk seperti pramuniaga,
pramuwisma, pramuria. Bentuk pramu-
kemudian dihubungkan dengan makna ‘pemberi jasa’ atau ‘pelayan’. Demikian pula
bentuk remaja yang berasal dari remaja putera ‘anak belasan antara 11
atau 13 tahun’ yang pada gilirannya berasal dari raja putera ‘anak raja’.
Satuan
leksikal dapat mengalami perubahan makna akibat (b) persandingan yang lazim
(teradat), yang disebut kolokasi. Misalnya, bentuk nasib yang dapat bersanding
dengan baik dan buruk, dan yang lebih sering muncul adalah nasib buruk daripada
nasib baik, lama kelamaan nasib bermakna konotatif buruk, perhatikan contoh:
Memang
sudah nasibnya harus hidup sebatang
kara pada usia yang begitu muda.
Maka
satuan leksikal dapat berubaha pula sebagai akibat (c) penghilangan salah satu
unsurnya. Misalnya, tidak semena-mena
‘sewenang-senang’ unsur keduanya dari bahasa Sansakerta samana ‘seimbang’ menjadi semena-mena
dengan arti yang sama ‘sewenang-wenang’; demikian pula bentuk acuh tak acuh yang berarti ‘tidak
menghiraukan’ menjadi acuh menjadi
arti yang sama ‘tidak menghiraukan’.
2.
Rumpang di dalam Kosa Kata
Kosakata suatu bahasa
kadang-kadang kekurangan bentuk untuk mengungkapkan konsep tertentu. Penutur
bahasa dapat memilih satuan leksikal yang ada dan (a) menyempitkan maknanya.
Misalnya, pesawat ‘alat’, ‘mesin’, di
kalangan penerbang menyempit maknanya sehingga sama dengan pesawat terbang. Bentuk pemerintah
‘yang memerintah’ di dalam tata negara memiliki makna ‘kekuasaan eksekutif’
yang dibedakan dari ‘kekuasaan legislatif’ dan ‘kekuasaan yudikatif’. Bentuk peneliti yang dibedakan dari penilik.
Perubahan arti dapat
terjadi sebaliknya dari yang diungkapkan di atas, (b) meluaskan makna satuan
leksikal. Misalnya, di samping saudara
kandung dan ibu kandung, muncul
pula ayah kandung walaupun ayah tidak
pernah bersalin atau mengandung dan ayah tidak berasal dari satu kandung.
Bentuk kandung kemudian memiliki hubungan pertalian kekerabatan. Hal yang sama
terjadi pada ibu, bapak, dan saudara.
Usaha lain untuk mengisi
kekosongan (bentuk-bentuk yang rumpang) di dalam bahasa, dengan (c) memakai
metafor atau kiasan. Misalnya, lapisan
(masyarakat), pada kenyataannya hanya sebagai perbandingan dengan benda
yang berlapis-lapis dan yang dimaksud adalah adalah kelas-kelas (masyarakat).
Demikian pula angkatan (bersenjata),
padahal yang mengangkat senjata belum tentu kesatuan bersenjata; atau (tukang) catut (catut sendiri asal
maknanya adalah ‘alat pencabut kuku’) makna kemudian menjadi sama dengan ‘calo’
dan tukang di dalam hal ini sama maknanya dengan ‘ahli’.
Rumpang di dalam kosa
kata dapat pula diisi dengan perkembangan (d) acuan yang ada di luar bahasa.
Perubahan makna dapat terjadi akibat perkembangannya acuan tersebut, sehingga
makna leksikal berkembang pula. Misalnya, bentuk merakit dan rakitan yang
bermakna ‘menyatukan komponen-komponen’ di bidang otomotif sehingga dipakai
sebagai padanan assemble atau assembling. Contoh lain adalah bentuk kereta api
yang acuannya berkembang dari kereta yang tergerak dengan tenaga uap ke kereta
dengan sumber tenaga listrik dan diesel. Satuan istilah kereta api sebagai
istilah umum sekarang juga yang mencakup istilah kereta rel listrik (KRL) atau
kereta rel diesel (KRD?). Hal yang sama terjadi pula pada kata berlayar yang
tidak selalu mengacu ke ‘mengarungi laut dengan kapal layar’.
3.
Peralihan dari Pengacuan
yang Kongkret menjadi Abstrak
Pengacuan hal yang
kongkret dapat beralih ke hal yang abstrak. Bandingkanlah contoh berikut:
(1) menangkap
(dengan tangan) menjadi menangkap (dengan akal)
(2) memeluk
(gerakan tangan yang melingkar) menjadi memeluk (mengikuti pula berpikir aliran
agama atau keyakinan)
(3) merangkap
(kertas, dua tiga helai melekat menjadi satu) menjadi merangkap
( jabatan)
4.
Sinestesia
Penggabungan dua macam
tanggapan pancaindera terhadap satu hal yang sama, disebut sinestesia.
Sinestesia dapat mengakibatkan perubahan makna, pengalaman pahit terjadi
kombinasi antara pencerapan indera perasa (pengalaman) dan indera pengecap
(pahit), pada muka masam terjadi
kombinasi indera penglihatan (muka) dengan indera perasa (masam), pada suara
tajam terjadi penggabungan indera pendengar (suara) dengan indera perasa
(tajam).
Penggabungan dua macam
tanggapan indera ini dapat dikatakan sebagai perubahan makna akibat pertukaran
tanggapan indera karena tampaknya sama (sun + aisthetikos).
5.
Penerjemahan Harfiah
Pemungutan konsep baru
yang diungkapkan di dalam bahasa lain terjadi juga lewat penerjemahan kata demi
kata, sehingga bentuk terjemahan itu memperoleh arti (makna) baru yang tidak
dimiliki sebelumnya. Salah satu akibat proses perubahan makna yang terjadi
adalah adanya satuan leksikal kuno dan satuan leksikal usang. Satuan leksikal
yang kuno adalah kehilangan acuannya yang berada di luar bahasa masa kini,
sedangkan satuan leksikal yang usang menurun frekuensinya adalah karena konotasi
yang dimilikinya. Kadang-kadang satuan leksikal yang kuno atau usang digunakan
kembali dengan makna baru. Hal tersebut seperti terjadi di dalam pembentukan
istilah indonesia.
Kata kuno adalah satuan
leksikal (kata, frase, bentuk majemuk) yang (a) kehilangan acuannya di luar
bahasa, (b) mempunyai konotasi masa yang silam, (c) berasal dari leksikon
bahasa pada taraf sebelumnya, atau (d) masih dapat dikenali secara tepat
ataupun secara kurang tepat oleh penutur bahasa yang bersangkutan. Bentuk kuno
adalah ancala ‘gunung’, andaka
‘banteng’, bahana ‘terang’nyata’balian’dukun’, basut ‘pancaran air’baginda’yang
bahagia’, cetara’ payung kebesaran’, curik’ golok pendek’, dahina ‘(siang) hari’,
danawa ‘raksasa’, ganda ‘bau’, graha ‘rumah’homan’korban bakaran’, inderalokau’surga’,
jauhar ‘intan’ jihat ‘arah‘, ‘sisi’, ‘pihak’ kalakian ‘ketika itu’, kawi
‘kuat’, ‘kukuh’, ‘sakti’, kopok ‘semacam gong’, langkara ‘mustahil’, lepau
‘semacam beranda di belakang rumah’, madukara ‘lebah’, maharan ‘perang besar’,
narapati ‘raja’, nayaka ‘menteri’, rata ‘kereta perang zaman dulu’, serdam
‘sejenis suling’, sida-sida ‘pelayan raja yang dikebiri’, sumbuk ‘sebangsa
perahu’ (Jowono, 1982:164).
Kata usang adalah satuan
leksikon yang sarat dengan konotasi. Beberapa contoh kata usang: babu ‘pembantu
rumah tangga (wanita)’, jongos ‘pembantu rumah tangga (pria)’, kacung ‘anak
laki-laki’, kuli ‘pekerja kasar’, pelacur ‘tuna susila’, manipol ‘manifesto
politik’, nasakom ‘ nasionalisme, agama, komunis’, rodi ‘perintah, kerja paksa’
romusa ‘pelaku, kerja paksa’ (pada zaman jepang), kumico ‘barang keperluan
sehari-hari’, polamh ‘surat kuasa’, karambol ‘permainan bilyar’, serdadu
‘prajurit’, mester ‘ahli hukum’, hopbiro ‘markas besar polisi, grad, derajat’,
jaram ‘kompres dingin’.
Baik bentuk-bentuk kuno
maupun bentuk-bentuk usang dapat dipengaruhi oleh pemungutan arti, karena
dengan semakin berkembangnya teknologi saling pengaruh antarbahasa yang
diakibatkan oleh komunikasi semakin tinggi pula. Bentukan baru yang memakai
unsur lama adalah satria mandala, bina graha, bentukan baru yang tidak
disesuaikan dengan kaidah hukum DM, sebab bila mengikuti hukum DM seharusnya
menjadi mandala satria dan graha bina.
C.
PERGESERAN
MAKNA
Makna berkembang dengan
melalui perubahan, perluasan, penyempitan, atau pergeseran. Pergeseran makna
terjadi pada kata-kata (frase) bahasa indonesia yang disebut eufemisme
(melemahkan makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya (kata, frase)
dengan yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata yang dianggap
memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya. Perhatikanlah
contoh berikut:
(1)
Bui, tahanan, atau
tutupan ‘tempat orang ditahan atau dipenjara setelah mendapat putusan hakim
untuk menjalani hukuman’, sekarang muncul lembaga pemasyarakatan, dan maknanya
bergeser ‘selain tempat untuk menahan terpidana menjadi tempat untuk mengubah
tingkah laku terpidana agar kelak dapat diterima kembali oleh masyarakat.
(2)
Dipecat, dirasakan
terlalu keras, dengan demikian muncul diberhentikan dengan hormat atau
dipensiunkan.
(3)
Ditahan, dirasakan
menyinggung perasaan orang yang mengalaminya dengan pertimbangan tertentu maka
muncul dirumahkan dan maknanya bergeser ditahan di rumah bukan tempat tahanan
umum.
(4)
Sogok-menyogok dirasa
terlalu mencolok mata, oleh karena itu muncul pungli (pungutan liar),
menyalahgunakan wewenang, komersialisasi jabatan, upeti, dan seterusnya.
Pergeseran
makna terjadi di dalam bentuk imperatif seperti pada segera laksanakan yang
bergeser maknanya menjadi harap dilaksanakan atau mohon dilaksanakan terjadi
eufemisme. Modalitas keharusan yang muncul dengan kontruksi harus untuk prinsip
eufemisme, misalnya harus datang menjadi mohon hadir, mohon datang. Kata
berpidato atau memberi instruksi dirasakan terlalu kasar dan biasanya diganti
dengan memberikan pengarahan, memberikan pembinaan, mengadakan seresehan, dan
sebagainya.
Pergeseran
makna terjadi pada kata-kata atau frase yang bermakna terlalu menyinggung
perasaan orang yang mengalaminya, oleh karena itu kita tidak mengatakan orang
sudah tua di depan mereka yang sudah tua bila dirasakan menyinggung perasaan,
maka muncullah orang lanjut usia. Demikian pula terjadi pergeseran makna pada
kata-kata atau frase berikut:
(1)
Tuna netra ‘buta’
(2)
Tuna rungu ‘tuli’
(3)
Tuna wisma ‘gelandangan’
(4)
Tuna susila ‘pelacur’
(5)
Cacat mental ‘orang gila’
(6)
Pramusiwi ‘pelayan
(bayi)’
(7)
Pramuwisma ‘pelayan
(pembantu)’
(8)
Prmuniaga ‘pelayan toko’
(9)
Menyesuaikan harga
‘menaikkan harga’
(10)
Dipetiaskan ‘masuk
kotak’, dan seterusnya.
Pemakai
bahasan dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya untuk memakai semua unsur
yang terdapat di dalam bahasanya. Pemakai bahasa berusaha agar kawan bicara
tidak terganggu secara psikologis, oleh karena itu muncul pergeseran makna.
Dikatakan pergeseran makna bukan pembatasan makna, karena dengan penggantian
lambang (simbol) makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan
(eufemisme) menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan bicara atau
orang yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau frase yang disebutkan).
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Perubahan makna adalah
sebagai akibat perkembangan bahasa. Perubahan makna terjadi dapat pula sebagai
akibat:
1.
Faktor kebahasaan
(linguistic causes)
2.
Faktor kesejarahan
(historical cause), yang dapat diuraikan di atas: objek, institusi, ide, dan konsep
ilmiah
3.
Sebab sosial (social
cause)
4.
Faktor psikologis
(psycological causes) yang berupa: fakor emutif, kata-kata tabu: (1) tabu
karena takut (2) tabu karena kehalusan (3) tabu karena kesopanan.
5.
Pengaruh bahasa asing
6.
Karen kebutuhan akan
kata-kata baru.
Sebab lain linguistis berhubungan dengan faktor
kebahasaan, baik yang ada hubungannya dengan fonologi, morfologi, atau
sintaksis.
Bahasa yang berkembang
sejalan dengan bahasa Indonesia selain bahasa daerah, terdapat pula bahasa
asing. Perubahan makna dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia.
Lingkungan masyarakat
dapat menyebabkan perubahan makna suatu kata. Kata yang dipakai di dalam
lingkungan tertentu belum tentu sama maknanya dengan kata yang dipakai di
lingkungan lain.
Perubahan
makna dapat dianggap sebagai akibat hasil proses yang disebabkan oleh (1)
hubungan sintagmatik, (2) rumpang di dalam kosa kata, (3) peraliahan dari
pengacuan yang kongkret ke pengacuan abstrak, (4) timbulnya gejala sinestesia
dan (5) penerjemahan harfiah.
Makna
berkembang dengan melalui perubahan, perluasan, penyempitan, atau pergeseran.
Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) bahasa indonesia yang disebut
eufemisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya (kata,
frase) dengan yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata
yang dianggap memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya.
DAFTAR
PUSTAKA
Djajasudarma, Fatimah.
1993. Semantik 2 Pemahaman Makna. Bandung: Refika Aditama.
Komentar
Posting Komentar